Love In Revenge

Cindy Tanjaya
Chapter #17

16 : Akhir Perang Dingin

Chellia menatap lurus George yang kini berdiri menghadapnya. Pengakuan cinta George benar-benar tak pernah ia duga. Chellia menganggap George hanya sebagai kakak. Dan hal itu tidak akan berubah sampai kapanpun.

"Apa kau sudah gila? Hubungan kita tidak lebih dari seorang teman. Dan aku hanya menganggapmu sebagai kakak." Ujar Chellia datar membuat rahang George mengeras. Mata George menyorot marah.

"Kenapa? Apa kau mencintainya?" Tanya George sambil menunjuk Jeffrey. Mata Chellia tergerak menatap Jeffrey yang kini juga menatapnya. Chellia memejamkan matanya sesaat, lalu kembali menatap George yang kini berkilat marah.

"Aku mencintainya atau tidak, tidak ada kaitannya dengan jawabanku tadi. Aku hanya menganggapmu sebagai kakak. Dan hal itu tidak akan berubah sampai kapanpun." Ujar Chellia tanpa memperdulikan George yang kini berusaha mengontrol emosinya.

"Baiklah jika itu jawabanmu." George kembali meraih pistol di lantai, lalu menodongkannya didepan wajah Chellia. Chellia tampak tenang seolah pistol dihadapannya tidak mematikan menurutnya.

"Jika kau tidak bisa menjadi milikku, maka siapapun tidak akan bisa memilikimu." Ujar George. Para sandera tampak berteriak, menahan George agar tidak menembak Chellia. Jeffrey menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Chellia memejamkan matanya. Ia siap sedia dijemput oleh Tuhan.

"Aku akan bertemu denganmu, ayah."

"DOR!"

Chellia membuka matanya dan terkejut melihat George mengerang memegang kakinya. Ternyata ada oranglain yang menolongnya. Orang yang menggunakan topeng yang tengah mengarahkan pistolnya ke George yang kini mengerang kesakitan. Orang itu melangkah mendekat, menarik Chellia berlindung dibelakangnya.

George menatap garang orang bertopeng itu. Perlahan bangkit dari duduknya, sambil menahan sakit yang kini dideritanya.

"Siapa kau yang dengan beraninya menembakku?" Tanya George tetapi lelaki bertopeng itu tak menjawab. Lelaki itu menyerahkan pistolnya pada Chellia, lalu tangannya tergerak membuka topengnya. Wajah George berubah seketika.

"A-ayah?" ujar George terbata-bata. Orang itu adalah Hansen. Hansen kini menyorot tajam kearah George. Tangannya tergerak menampar anaknya itu.

"Jangan biarkan amarah menguasai hatimu!" Bentak Hansen membuat George terdiam. George hanya memegang pipinya yang kini terasa sakit.

"Jika kau benar-benar mencintai Chellia, bukan begini caranya! Kau pikir dengan membunuhnya kau bisa hidup tenang?" seru Hansen ingin sekali menampar George lagi. Kebodohan anaknya itu benar-benar luar biasa.

Chellia menahan pergerakan Hansen yang ingin menampar George lagi. Hansen menoleh, lalu menatap Chellia seolah bertanya 'kenapa?'.

"Apa kau ingin putramu membencimu?" ujar Chellia membuat Hansen mendengus kesal.

"Tetapi tindakannya sudah kelewat batas. Jika aku tidak menembaknya, mungkin saja ia sudah nekat membunuhmu tadi." Ujar Hansen sambil menatap George yang kini mengeraskan rahangnya.

"Aku memahami perasaannya. Namun, aku tidak bisa memaksakan diriku karena aku tidak memiliki perasaan khusus untuknya. Dia sudah seperti kakak untukku. Mana mungkin aku mencintainya melebihi batasku?" ujar Chellia lalu Hansen menoleh menatap putranya yang kini mengepalkan kedua tangannya.

"Kau sudah mendengarnya, George? Chellia tidak mencintaimu. Lagipula, aku juga sudah menganggapnya seperti putriku sendiri. Tidak mungkin kalian bisa bersatu jika-"

"Sudah cukup, ayah. Aku sudah mengerti." Potong George cepat, lalu mengangkat kepalanya. Menatap Chellia yang kini juga menatapnya.

Lihat selengkapnya