“Hampir semua orang ingin menikah, Purnama.”
“Umurku baru enam belas tahun.”
“Kau akan dewasa beberapa tahun lagi.”
“Tapi akankah ada laki-laki yang mau menikah dengan seorang gadis buta?”
“Tentu saja ada. Aku bersedia menikahimu. Kalau bisa, sekarang juga.”
“Hahaha!”
Siraman air membalas perkataan Andrew itu. Tak terima, Andrew ikut memercikkan air ke wajah Purnama. Berdua, mereka segera bermain air di garis pantai hingga lautan dangkal.
Seandainya Purnama tidak buta, dia pasti bisa menjelaskan dengan baik tentang pantai-pantai di Kendari. Tentang perkampungan tradisional di sekitar pantai Mayaria, tentang Kota Lama yang berujung di sebuah pelabuhan kapal-kapal berat. Tentang semua kesibukan dan tradisi Sulawesi Tenggara yang masih penuh aura mistis. Sebuah tempat yang seakan jauh dari keramaian peradaban. Namun memiliki ketenangan yang memikat.
Di sanalah pertama kalinya Purnama bertemu dengan Andrew. Lebih tepatnya, Andrew yang menangkap sosok Purnama dalam jepretan foto.
Bagi Purnama, hari itu sama saja dengan hari biasa. Hanya saja, hari itu Purnama mendengar beberapa kali suara klik kamera yang begitu dekat. Selanjutnya, Purnama mendengar sebuah suara bariton yang rendah memanggilnya.
“Permisi, apakah nona keberatan jika melihat kemari?”
“Apakah anda sedang memotret saya?” Purnama mengernyitkan alis, kesal karena usahanya sia-sia. Kemanapun dia menoleh, dia tidak berhasil menemukan petunjuk mengenai laki-laki pemilik suara bariton itu.
“Mohon maaf, saya tidak bisa melihat. Saya tidak tahu anda dimana.”