Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #3

Selamat Ulang Tahun Al Meera

Aku sudah tidak ingin lagi mengerjakan proposal kredit ini atau melihat ratusan ribu angka yang harus kususun menjadi sebuah neraca keuangan. 

Waktu sudah menunjukan hampir tengah malam, namun masih terdengar suara papan ketik dari beberapa meja kerja di sebuah ruangan yang luasnya tidak lebih besar dari sebuah lapangan futsal berukuran dua puluh meter kali dua puluh meter persegi, bersahutan dengan suara langkah kaki percaya diri para wanita karir mondar-mandir yang belum juga lelah menggunakan sepatu tinggi mereka.

“Apa yang mereka kejar?” Pikirku.

Padahal masih ada hari esok untuk meneruskan pekerjaan mereka, atau mereka sebetulnya hanya menyibukan diri mereka karena segan untuk pergi dari penjara budaya kerja yang terlalu mendarah daging ini.

Kuputuskan menghampiri meja kerja Nadia – dia adalah rekan kerjaku, sekaligus satu-satunya orang yang bisa kuajak kabur-kaburan di waktu-waktu seperti ini, melipir sebentar untuk menyalakan sebatang rokok, dia juga pendengar yang baik, karena hanya padanya aku bisa membicarakan banyak hal termasuk membahas hal-hal yang sangat eksistensial. Beruntungnya aku bisa mengenalnya, aku seperti menemukan teman sepenanggungan dalam menghadapi dunia kerja yang hampir saja membuat mentalku jungkir balik.

“Nad, bentar lagi aku akan berumur tiga puluh tahun, dan masih jadi kacung kampret[1].” Keluhku, mengocehkan perasaan merasa gagal dalam urusan karir, terjebak dalam ruang lingkup pekerjaan yang tidak juga cemerlang.

Dia menoleh pelan, menyipitkan matanya ke arah sumber suara yang menggangu pikirannya. Alisnya mengerut, seolah mencoba membaca maksud tersembunyi di balik pembicaraan ini.

“Eh… tahu gak? Si Dinda, diangkat jadi manager.” Ucapku lesu. Dinda yang kita tahu adalah rekan kerja satu angkatan, lebih muda dari kita, tapi belum lama ini dia mendapatkan promosi.

 “Tahu apa kamu soal konsep nasib dan rejeki?” Ucap Nadia ketus.

“Kalau saja aku lebih rajin belajar, tidak membuang waktuku dulu di kampus.” Sesalku. 

Nadia mendengarkan ocehanku sambil sibuk dengan ponselnya.

“Kalau saja aku fokus dan mencoba menyukai pekerjaanku, menjalani karir dan menekuninya dengan baik, atau menghalalkan berbagai cara, mungkin aku sudah jadi bos dan punya supir pribadi, haha.” Menyambung ocehanku sambil bercanda, merasa belum puas berandai-andai, yang khayalannya semakin tidak karuan.

Nadia memanggil namaku dengan gemas, “Al Meera.”

“Yap.” Jawabku.

Sok, kalau saja apalagi? Semua itu masih kemungkinan saja kan?!” ledeknya. “Al.” Panggilnya lagi.

“Apa?” Jawabku lesu.

“Denger.” Pintanya. “Menurut artikel yang barusan kubaca. Sebuah penelitian menyebutkan ketika seseorang berusia seratus tahun mereka semua menganggap usia tiga puluh tahun merupakan dekade terbaik dalam hidupnya.” Jelas Nadia.

Ternyata dari tadi dia mencari sesuatu di internet melalui ponselnya untuk bisa menguatkan argumentasinya, melawan ocehanku.

"Menurutmu Nad, berapa persen dari total manusia yang ada di dunia ini bisa mencapai usia seratus tahun dan bisa berpikir seperti mereka." Hardikku, tidak mau kalah.

"Itu buktinya ada surveinya." Sama-sama tidak mau kalah.

“Terus Nad, katanya bagi perempuan jam biologis seksual akan menurun pada usia tiga puluh tahun, ya Tuhan.” Tambahku.

“Tapi, kayanya itu gak berlaku untuk semua perempuan deh, buktinya si Rani.” Bantah Nadia. Rani adalah salah satu teman kita yang gila olahraga. “Menurutnya, di usia tiga puluh tahun, malah hidupnya mencapai puncak seksual. Menurutnya lagi, dia menjadi punya lebih banyak fantasi seksual dan hubungan seks yang lebih akurat.” Tambahnya.

Lihat selengkapnya