Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #4

Cerita Di Musim Penghujan

Kota Parisj van Java di guyur hujan cukup deras hari ini. Sudah berhari-hari hujan seperti ini terjadi, sesekali bahkan disertai angin kencang. Cuaca seperti ini tidak aneh lagi karena saat itu tengah memasuki musim penghujan, yang telah melewati musim kemarau yang cukup panjang.

Aku berjalan di salah satu daerah terpencil yang sering kali terlewatkan oleh para wisatawan luar sekalipun oleh penduduk asli. Boleh dikatakan tidak banyak orang mengenal daerah ini, kecuali para penduduk yang bermukim di sana. Jalanan ini sering dilewati oleh para pengemudi angkutan umum yang hendak memotong jalan menuju Alun-alun Kota, Jalan Braga atau menuju pusat pemerintahan.

Bila kita mengambil jalan lurus setelah Jalan Braga ke sebuah jalan yang nanti akan terhubung dengan jalan protokol lainnya, kemudian mengambil jalan berbelok ke kiri sambil mengitari jalanan yang sepi, kemudian membelok ke kiri sekali lagi kita akan tiba di sebuah kawasan pertokoan yang lengang, di jajaran pertokoan itu, di ujung jalan yang membentuk sudut lancip terletak sebuah kedai kopi bernama Kreetenbrood, tempat di mana aku sering menghabiskan waktuku.

Kawasan pertokoan ini telah lama ditinggalkan, beberapa bangunan atau rumah-rumah telah berevolusi mengikuti perkembangan zaman, sedangkan bangunan kedai kopi ini dibiarkan seperti sedia kala oleh pemiliknya, terlihat karakteristiknya dengan arsitektur jajahan khas gaya eropa.

Ruangan kedai kopi ini terisi penuh. Di salah satu meja dekat dengan kasir terdapat sepasang orang tua, mungkin usianya lebih dari lima puluh tahun, mereka memesan menu klasik yang pas dinikmati di sore hari yaitu satu set secangkir teh dan donat bertabur gula-gula salju. Ada pula sekelompok mahasiswa yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu dengan komputer jinjingnya itu sambil menikmati es kopi susu gula aren dan pisang goreng.

Masuk lagi ke dalam kedai ada sebuah ruangan yang atapnya sedikit terbuka dan terdapat sebuah taman kecil yang menjadi ruangan khusus untuk para perokok. Karena hari ini adalah akhir pekan dan di luar sedang hujan, kedai kopi kecil ini dipenuhi banyak pelanggan, tidak tersisa satupun tempat kosong untukku duduk sambil berteduh dan menikmati secangkir kopi untuk menghangatkan tubuh. Sambil tetap berusaha mencari tempat duduk, aku berulang kali meminta disediakan tempat kosong pun permintaanku itu tidak bisa dikabulkan sekalipun aku meminta langsung pada pemilik kedai.

Di salah satu sudut, ada sebuah meja yang hanya diisi oleh satu orang, duduk laki-laki tidak terlalu mempesona, tubuhnya ramping, rambutnya yang keriting terlihat mengganggu penglihatannya, namun dia cukup manis bila diperhatikan. Paman Bram – pemilik kedai kopi ini memintaku untuk berbagi meja dengan laki-laki itu.

Tidak ada pilihan lain, aku menghampiri meja itu dan meminta izin pada laki-laki itu. “Maaf, bolehkah aku gabung di satu meja denganmu?”

Sambil memicingkan mata dan merapihakn remah-remah roti yang menempel di seputaran bibirnya yang tipis, dia malah terdiam. matanya yang sendu berwarna coklat menjadi hiasan manis di parasnya yang sedikit oriental. Bibirnya kemudian tersungging, tersimpul senyuman yang canggung berusaha bersikap ramah dan mengizinkanku – orang asing yang tidak dikenalnya ini untuk bergabung satu meja dengannya.

“Tentu saja.” Katanya.

“Terima kasih.” Ucapku canggung.

Aroma kopi yang tengah diseduh oleh air mendidih memenuhi seluruh ruangan, dalam hening dan kekikukan antara kita, tiba-tiba dia mengenalkan dirinya sambil, “Sagara.” Ucapnya.

“Oh…” merasa kaget dengan inisiatifnya, tapi akupun mengenalkan diriku padanya. “Al Meera.”

Hal itu tidak juga membuat atmosfer antara kita berdua menjadi santai, tetap terasa canggung dan kembali sunyi. Demi menghindari kecanggungan ini, kukeluarkan saja buku dalam tas, belum habis kubaca satu paragraf, tiba-tiba bibirnya melesatkan ucapan Raja Melkisedek kepada Santiago – Si Anak Gembala.

"Kalau engkau mendambakan sesuatu alam semesta bekerja sama membantu memperolehnya," ucapnya. "Aku sudah pernah membaca buku itu," lanjutnya, sambil menunjuk ke arah buku yang sedang kupegang.

Aku terkejut, sambil membuka-buka lembar halaman pada buku yang sedang kupegang dan sesekali melirik ke arahnya.Akan tetapi hal tersebut memberikan respon baik untukku, wajah-wajah canggung tadi mulai berubah menjadi akrab, dan tidak perlu waktu lama untuk membuat suasana canggung menjadi akrab hanya dengan membicarakan buku sastra klasik karya sastrawan Brazil, Paulo Coelho.

“Sesungguhnya harta karun itu berada di situ sejak awal.” Sambungku. Membaca buku ini bukan kali pertama, aku berencana membaca ulang buku ini, karena banyak pesan-pesan dalam buku ini yang membekas untukku.

“Betul. Bila kita melihatnya dengan lebih bijaksana.” Ujarnya. “Buku itu.” Sambil menunjuk buku The Alchemist karya Paulo Coelho. 

“Aku suka buku itu. Penuh makna, salah satunya yang kusuka yaitu, kalau setiap orang berhak untuk mengejar impian mereka dan menjalani hidup sesuai keinginan mereka.” Tuturnya.

“Apa impianmu?” Mulut ini tiba-tiba saja bersikap lancang dengan menanyakan soal impian padanya, padahal aku adalah orang asing yang dengan sadar merasa salah, yang seharusnya tidak menanyakan hal ini pada orang baru dan pertemuan pertama mereka.

Lihat selengkapnya