Sudah lewat beberapa hari semenjak pertemuanku dengan Sagara, tapi belum ada komunikasi lagi. Beberapa hari pertama, aku masih berpikir ini bukan masalah, sekarang rasanya jadi masalah karena aku menjadi gelisah karena ingin sekali mengabarinya, tapi aku malu, dan aku harus mencari alasan yang tepat untuk memulainya.
“Sudah di email proposal permohonannya, Al?” Tanya Nadia menyadarkanku dari lamunan, aku mengangguk dan menjawab, “Cek email, Nad.”
Sepertinya aku harus mengabaikan Sagara sejenak, karena dalam waktu dekat aku harus mempersiapkan acara akbar di kantor, aku harus fokus mengerjakan semua daftar pekerjaan yang sudah menumpuk, kalau tidak managerku bisa murka.
Desta – salah satu teman kantor, tapi beda divisi yang julukannya adalah si Ratu Kopdar[1], mengajakku bertemu dengan temannya. Aku pernah sesekali menanyakan siapa saja laki-laki yang sedang dia pacari dan semuanya adalah lelaki yang begitu menggoda dan membuatku berpikir untuk mengikuti jurus-jurusnya dalam mencari pacar.
Dia mengajaku akhir pekan ini – dia menyelamakanku dari kegiatan membosankan dari membuka satu aplikasi ke aplikasi lainya. Dia akan bertemu dengan gebetan barunya di Simpul Jejaring, tempat berkumpulnya orang-orang kreatif yang ada di kota.
Sesampainya kami di sana, di meja kamidi Simpul Jejaring, si gebetan baru Desta sudah berada di sana bersama dengan salah satu temannya. Dia memperkenalkan dirinya, Zaki, usia tiga puluh tiga tahun, seorang yang menganggap dirinya expert di bidang advertising. Sementara yang satu lagi bernama Bimo, usianya lebih muda satu tahun dari Zaki, seorang content creator yang sering kali membahas soal buku.
Setelah sibuk memperkenalkan diri, membicarakan soal kerjaan dan kesibukan masing-masing, tiba-tiba saja, entah bagaimana topik pembicaraan melenceng jauh dan membahas sesuatu yang menurutku sedikit sensitif, yaitu tentang seks.
“Apa kalian pernah berpikir ingin berhubungan seks dengan perempuan atau laki-laki lain, selain pasanganmu?” tanya laki-laki yang mengaku-ngaku expert di bidang advertising itu, bisa kutebak pasti dia lelaki hidung belang.
Aku tidak bisa lagi menjaga ekspresi ramah ini, pertanyaan ini terlalu aneh dan aku tidak terlalu ingin terlibat di dalam pembicaraan ini. Aku sudah bisa memperkirakan pembicaraan ini akan berujung sampai mana, bahwa perempuan hanya akan menjadi objek bagi mereka.
“Kenapa aku harus mau melakukan hal itu?” ujarku kesal.
“Mungkin saja kamu akan menyukainya.” Ucapnya sambil tertawa genit.
“Kamu sudah gila.” Bisikku pada Desta yang duduk di sebelahku, dan dia hanya terkekeh. Dalam hatiku bertanya-tanya kenapa bisa kenal dengan orang “mesum” seperti dia. Aku mengiyakan ajakannya ini berharap bisa bertemu dengan laki-laki yang memberikan kesan yang menarik.
Kesal bercampur dengan heran akan mahluk yang satu itu, Bimo, si content creator mulai angkat bicara.
“Fantasi itu terlalu melampaui apa yang seharusnya diharapkan oleh orang-orang yang berpegang pada budaya ketimuran, kawan.” Ucapnya.
“Hmm… menarik.” Bisikku dalam hati.