“Hoooaaahh…” Sejauh mata memandang pada ruangan yang asing ini, sebentar. Di mana aku? – sial, aku pasti ketiduran.
Terlihat dari jendela kamar, di luar gerimis halus tipis dan suara angin seperti menyuarakan nyanyian yang menyejukan telinga.
Kamu keterlaluan Al Meera, bisa-bisanya kamu ketiduran dan terbangun dalam balutan selimut hangat – bau selimut ini, wangi yang khas mulai terekam dalam ingatan.
Aku bangkit dari tidur masih dengan selimut yang sengaja kulilitkan di sekujur tubuhku, karena cuaca cukup dingin. Tengorokanku rasanya kering sekali, kuhampiri meja lipat yang berantakan penuh dengan cangkir kosong sisa kopi dan abu rokok terletak tidak jauh dari kasur. Karena sangat haus, aku menelan habis air dalam gelas, kemudian menyalakan sebatang rokok dan mencari ponselku, mencoba mencari petunjuk dan mengingat-ingat kembali kenapa aku bisa berujung di ruangan ini.
Kemarin aku bersama Sagara. Kami kehujanan dan memutuskan pulang ke rumahnya untuk menganti pakaian sambil menunggu pakaianku dikeringkan oleh mesin. Pasti Sagara sudah siap mengantarkanku, tapi pasti aku mengantuk saat mengenakan pakaian yang membuatku hangat, dan beginilah kelanjutannya.
“Duhh…” aku mengaruk-garuk kepala yang sebetulnya tidak gatal sama sekali.
Aku telah bermalam di rumah Sagara.
Tidak lama pintu kamar terbuka, kulihat wajah yang tidak asing lagi – masih mengantuk, membawa segelas kopi hangat yang harumnya memenuhi seisi ruangan, kemudian menghampiriku, duduk di sampingku dan ikut berselimut karena Bandung kali ini terasa lebih dingin dari biasanya.
“Kamu tertidur dan aku tidak berani membangunkanmu.” Katanya.
“Maafkan aku.” Merasa lancang sekali bisa seenaknya merebahkan badan di rumah orang yang baru kukenal.
“Tidak masalah.” Katanya membuatku sedikit lebih tenang. “Sebentar lagi pagi, nanti baru aku antarkan.” Lanjutnya.
“Oh… Iya… Tapi, aku bisa pulang sendiri.” Kataku.
“Gak papa. Nanti kuantar.” Katanya memastikan kalau aku tidak perlu khawatir.
“Baiklah. Terima kasih.”
“Apa yang ingin kamu lakukan sambil menunggu pagi?” tanyanya.
“Entahlah. Mungkin ngobrol denganmu.” Jawabku.
“Oke. Apa yang ingin kamu ceritakan atau tanyakan padaku?” sambungnya.
“Hmm…” sambil berpikir, aku menskrining tumpukan buku yang berada di atas meja kerjanya, kurasa aku melihat salah satu buku yang pernah aku nikmati saat membacanya. “The Geography of Bliss.” Sambil menunjuknya.
“Yap. Karya Erik Weiner. Kamu pernah membacanya?”
“Pernah, tapi sudah lama sekali.”
“Menarik ya, dia berpergian ke beberapa negara mencoba mencari arti sebuah kebahagian.” Sagara bangkit dari duduknya dan mengambil buku itu sambil membolak-balik halamannya. “Saat mencari kebahagiaan itu, akhirnya Erik menemukan bahwa makna kebahagiaan tidak selalu sesuai dengan hal-hal yang sering dianggapnya.”
“Faktanya, keragaman budaya atau kesetaraan sosial dapat menciptakan kebahagiaan. Melihat kebahagiaan dari sudut pandang lain.” Tambahku.
“Geografi kebahagiaan yang dieksplorasi oleh Erik, menurutku eksplorasi yang lucu dalam mengungkap persamaan dan perbedaan budaya yang ada dalam mencari kebahagiaan.” Tuturnya.
“Kemanakah kita harus pergi untuk mencari kebahagiaan itu?”
“Kita tinggal putuskan, mau pergi kemana lagi kita sekarang?”
“Some place new and exotic, haha…”
“Saat aku berpergian ke sebuah pantai, rasanya aku ingin tinggal di sana. Menjadi seorang nelayan, membumi dengan warga lokal, slow living[1].” Sagara tetiba bercerita salah satu angan-angannya.