Bimo sempat membuat hatiku berbunga-bunga. Jika dilambangkan sesuatu yang indah, Bimo seperti Kembang Ratna, tentu saja menawan dan memikat, dan telah menciptakan kenangan baru yang menyenangkan.
Semejak itu, Bimo menjadi sering menanyakan kabarku, sering mengajakku makan malam atau sekedar nongkrong menikmati segelas es kopi susu. Bukan karena aku terlalu percaya diri, tapi kurasa dia benar-benar tertarik padaku. Plus, Nadia menjadi orang pertama yang terus membujukku untuk kembali meraskan jatuh cinta. kalau ada level rasa jatuh cinta, seperti kebanyakan makanan pedas pada umumnya, Bimo, level kepedasannya sesuai dengan seleraku.
Bimo, sebenarnya sangat menarik, physicly, walau tubuhnya yang kurus tapi cukup atletis, sering kali membuatku membayangkan sudut-sudut tubuhnya yang lancip itu menyentuh tubuhku. Selain itu, Bimo membuatku nyaman kalau berada di dekatnya, dia sedikit banyak melengkapi kerinduanku terhadap perhatian yang selama ini aku dambakan darilawan jenis.
Jika ditanya kenapa aku masih terus menjaga komunikasiku dengan Bimo, jujur saja aku tidak tahu, aku tidak bisa menemukan alasan yang bisa aku jelaskan – mungkin aku terlalu kesepian, apakah mungkin aku benar-benar juga tertarik padanya, semua alasan berada dalam batas-batas kemungkinan yang aku anut. Yang menjadi jelas dan pasti, sampai dengan saat ini, Bimo menjadi satu-satunya orang yang masih menghubungiku dan bisa aku bagikan semua tentang kegiatan harianku.
Kami sudah bertemu lagi, sesudah pertemuan kita di kedai kopi dan diner Sop Kaki Kambing. Tapi sekarang kami lebih sering menghabiskan waktu di apartemenku, tentu saja alasan utamanya adalah karena Bimo hanya ingin naik sepeda. Kita tidak bisa berangkat bareng atau pergi bareng setelah bertemu di satu tempat, kita akan pergi dengan cara yang terpisah. Akan lebih nyaman, tanpa perlu repot yang ujungnya aku akan pulang sendiri, makanya aku lebih sering menyuruhnya ke tempatku.
Tapi lama-kelamaan, semua itu mulai kehilangan daya tariknya. Bimo terus-menerus membicarakan hal yang sama dan sesuatu yang kurang kuminati – sepedanya. Selain buku, seolah-olah hidupnya berputar pada satu motto, yaitu mens sana in corpore sano[1]. Ironisnya, di balik prinsip hidup yang sehat yang selalu dia banggakan itu, Bimo justru sangat menyukai makanan cepat saji – padahal aku pernah bilang itu tidak menarik, dia sering sekali memesannya, setelah itu dia akan bermalas-malasan sampai-sampai tertidur, dan akhirnya harus menginap di tempatku.
Malam ini hujan cukup deras. Dan entah kenapa, di tengah suara air yang menampar jendela bertubi-tubi, aku tiba-tiba tersadar – bahwa sebenarnya aku belum benar-benar siap menerima sosok Bimo dalam hidupku. Setiap kali hujan turun, memori ini seperti terkoneksi otomatis pada satu rasa yang terlanjut tertambat pada sosok lain. Selama ini aku menjalani hubungan dengan Bimo, tapi di dalam hati, aku merasa sedang berselingkuh dari seseorang, dari perasaan yang belum tuntas kujelajahi maknanya dalam hidupku.
Rindu itu datang bertubi-tubi. Bukan hanya sekedar rindu pada sosoknya, juga pada segala situasi jika bersamanya. Dan karena itu, aku tahu – hubungan ini tidak bisa kulanjutkan. Tidak adil untuk Bimo, dan aku telah tidak jujur untuk diriku sendiri. Maka, malam ini, aku memutuskan hubungan kami cukup sampai di sini.
Sampai detik ini, aku masih belum tahu kapan pencarian cinta ini akan berakhir – dan pada siapa hati ini akhirnya akan berlabuh. Tentu saja, harapannya satu ; semoga saat berlabuh nanti, itu untuk selamanya.
Jiwa dan raga ini ada kalanya merasa lelah, ingin berhenti saja, karena terlalu sering berharap hanya untuk kembali kecewa. Sudah berapa kali hati ini bersuka cita, tersulut oleh proses kimia dalam orang yang dia sebut jatuh cinta, tapi entah bagaiamana, ternyata hati ini seperti sudah tahu ke mana dia ingin pergi.