Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #9

Menuju Pulau Impian

Sagara : Ke Pulau Sempu, mau?

Sagara : Kita akan bergembira sepanjang akhir pekan. Di sana indah, pantai dan pemandangannya. Kita bisa jalan-jalan atau apapun yang kita ingin lakukan.

Pesan dari Sagara, tiba-tiba membangkitkan semangat berpetualangku. Apa dayaku untuk bisa menolak ajakan ini. Akhirnya, kami sepakat untuk menjelajah destinasi baru untukku dan eksotik yang diusulkannya – Segara Anakan, sebuah surga tersembunyi di Pulau Sempu. Pulau kecil yang terletak di selatan Jawa, tepatnya di wilayah Malang. Sebuah pulau yang menyimpan keindahan alam yang nyaris tidak tersentuh.

 Sepnajang perjalanan, kamu duduk di sampingku. Lima belas jam menempuh perjalanan melalui jalur kereta kini bukan lagi masalah – waktu terasa lebih ringan saat ada kamu di sebelahku. Sesekali kami tertidur, atau sibuk dengan buku masing-masing yang sengaja kami bekal. Di sela itu, kami sempat membeli Nasi Pecel yang dijajakan langsung ke dalam gerbong – disajukan dalam pincuk daun pisang, lengkap dengan daun kemangi yang wangi dan saus kacang yang gurih menggoda. Rempeyek renyah menjadi pelengkap yang tidak bisa diabaikan.

Saat kereta berhenti di stasiun berikutnya, kami mencoba jajanan unik lainnya – Sate Siput.

“Kamu tahu, katanya Sate Siput itu bisa jadi obat asma.” Ujarnya sambil mengunyah.

“Oh ya? Aku baru tahu.” Jawabku sambil menatapnya takjub.

Belum selesai membahas rasa sate yang ternyata lebih enak dari bayangan, Sagara tiba-tiba membagi angan-angannya.

“Aku ingin sekali melihat samudra awan di Puncak Mahameru.” Katanya sambil menatap ke luar jendela, seolah membayangkan apa yang akan datang.

Karena tujuan kami adalah Kota Malang – gerbang menuju banyak keajaiban alam di Jawa Timur – aku bisa merasakan antusiasme dalam nada suaranya.

Aku juga ingin lihat langsung Padang Edelweiss.” Lanjutnya, matanya berbinar. “Dan bermalam di Ranu Kumbolo, menyapa pagi dari danau yang katanya bisa memantulkan langit.”

Aku hanya bisa tersenyum, membiarkan momen itu mengisi ruang di antara kami – ringan dan hangat.

“Tidak mungkin aku melewatkan bermalam di Ranu Kumbolo.” Ucapnya, masih dalam angan yang hangat. “Aku ingin menjadi bagian dari mereka yang ramai-ramai mendirikan kubah-kubah tenda di padang rumput luas, tepat menghadap danau. Malam di sana dingin, tapi justru itulah yang menyatukan semua orang – penghuni tenda-tenda itu akan keluar, saling mendekat, menggigil bersama di sekitar api unggun yang menyala terang.”

Sagara berbicara seperti sedang melukis dunia lain – yang liar, magis dan indah. 

“Ada yang sibuk menyiapkan makan malam, ada yang menggenggam erat gelas kopi panasnya sambil bercanda, berbagi cerita. Seperti sebuah sihir di malam saat berada di Ranu Kumbolo, surganya Gunung Semeru.”

“Indah banget sih, kayaknya.” Gumamku sambil membayangkan suasana itu.

“Bunga Edelweis nggak bisa tumbuh di sembarang tempat, tahu.” Lanjutnya. “Dia hanya bisa hidup di atas tanah tinggi, minimal seribu meter di atas permukaan laut.”

“Kenapa cuma di dataran tinggi?” tanyaku, penasaran.

“Karena dia butuh sinar matahari penuh.” Jawabnya, mantap. “Makanya dia spesial.”

Aku terdiam sejenak. Percaya atau tidak dengan penjelasannya, entah kenapa hatiku ikut hangat. Di antara hidupku yang selama ini penuh angka dan rutinitas yang itu-itu saja, hal sederhana seperti ini terasa seperti kejutan kecil yang menyenangkan – seakan aku baru membuka halaman baru yang belum pernah kusentuh sebelumnya.

“Puncaknya bagus didaki sekitar bulan Juli sampai September.” Tambahnya lagi. “Itu musim Edelweiss mekar.”

Lihat selengkapnya