Pribadi yang halus, tenang dan penuh perhitungan, Sri Haddi bukan tipe ibu yang mengekspresikan cinta dengan pelukan, tapi menjadi inspirasi, mencontohkan ribuan warna yang dia torehkan ke dalam kanvas. Barangkali itulah mengapa dia menjadikan Sagara jatuh hati pada dunia seni, dan dia sangat memahami sisi seniman dalam diri anaknya itu.
Setiap pagi di akhir pekan, dia menyeduh teh melati, mengganti air bunga di altar kecil tempat bunga-bunga kesayangannya dirawat dengan sepenuh hatinya, dan membuka jendela agar cahaya matahari masuk ke dalam rumah – ritual yang menjadi tanda bahwa harinya untuk berkarya. Dia akan membawa kotak kayu berisi palet dan kuas yang dia simpan di bawah tempat tidurnya, membawanya ke teras belakang rumah, dan siap duduk di depan easel.
Segelas kopi hitam, pisang goreng dan koran siap tersaji untuk Surya Haddi, menjadi amunisi baginya untuk menemani istrinya melukis. Dia adalah pria yang bersahaja dengan tutur yang tertata, seakan setiap katanya perlu dipertimbangkan sebelum diucapkan. Sagara tumbuh dengan dialog-dialog penuh makna bersama ayahnya, mulai dari pertanyaan-pertanyaan kecil tentang apa itu kebahagiaan hingga kenapa manusia harus mencintai meski tahu akan kehilangan.
Surya dikenal sebagai figur ayah yang disiplin dan teguh, namun bukan otoriter. Dia percaya bahwa anak bukanlah perpanjangan dari orang tua, melainkan individu yang harus menemukan jalannya sendiri. Tapi di balik wajah serius dan buku-buku tebal yang memenuhi perpustakaannya, tersembunyi kelembutan seorang lelaki yang menulis puisi untuk istrinya setiap tahun di hari ulang tahun pernikahan mereka. Dia menyimpan puisi-puisi itu di laci meja kerjanya, bukan untuk dipamerkan, tetapi sebagai bentuk pengabdian yang sunyi.
Sagara Haddi lahir dan tumbuh besar dalam lingkungan keluarga sederhana yang menghargai ilmu dan kepekaan seni. Sejak kecil, Sagara terbiasa dikelilingi oleh buku, lukisan, dan percakapan-percakapan panjang tentang hidup dan keindahan hal-hal kecil. Keluarganya bukan keluarga yang banyak bicara soal perasaan, tapi mereka memberikan ruang yang cukup untuk Sagara mengekspresikan diri melalui tulisan dan gambar – dua hal yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dirinya.
Nilai-nilai yang memandu hidup Sagara berakar pada apa yang ditanam oleh pasangan Haddi, menjadikan Sagara sosok pribadi dikenal ramah dan mudah didekati, tapi dia sangat menghargai percakapan yang bermakna, jika bisa disimpulkan Sagara adalah perwujudan dari seseorang yang ingin hidup jujur dan sederhana.
Akhir pekan kali ini, seluruh anggota keluarga Haddi berkumpul. Bukan untuk sebuah perayaan istimewa, melainkan hanya menyisihkan waktu sebelum hajatan besar ; pernikahan anak satu-satunya mereka, Sagara.
“Bagaimana persiapan pernikahan, Mas?” tanya sang ibu, Sri Haddi, membuka percakapan dengan nada penuh harap.
“Begitulah.” Jawab Sagara singkat, seolah tidak tertarik membahas lebih jauh.
“Lho, gimana toh? Kan sebentar lagi, Mas.” Sri mulai terlihat khawatir.
“Darra sudah mengurusnya semuanya, Bu.” Sahut Sagara sambil menatap layar ponselnya, datar.
“Ajak dia dong, Mas. Ibu kan pengen ketemu sama Darra, Ibu juga pengen tahu persiapan sudah sampai mana! Ibu juga pengen bantu, Mas. Kesian kan, kalau dia repot sendiri.” Lanjut Sri dengan nada sedikit mengomel.
“Iya, Bu.” Jawab Sagara sekenanya, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Lagian bu, Sagara juga bantu untuk urusan-urusan yang besar, sekarang tinggal yang kecil-kecil kok.” Tambahnya.
Surya Haddi, sang ayah, yang sedari tadi hanya diam sambil menyimak, akhirnya ikut bersuara. “Memang berapa hari lagi toh?”