Sudah hampir beberapa hari sejak malam itu – malam saat Sagara datang ke apartemenku, tanpa rencana, membawa tubuh lelah dan mata yang penuh rahasia. Tapi, setelah itu, hening, tidak ada pesan, tidak ada kabar.
Kini sudah hampir seminggu sejak aku terakhir mendengar suaranya. Tanpa terasa, sudah berlalu selama tiga bulan – tiga bulan yang sunyi. Sepi yang terus menggema tanpa jeda.
Awalnya aku masih mencoba berpikir positif – mungkin dia sibuk, pikirku. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana dia sempat menceritakan proyek workshop yang akan segera digarapnya. Aku meyakinkan diri bahwa dia akan menghubungiku begitu sempat. Tapi kenyataannya, semua pesan yang kukirim hanya berakhir sebagai notifikasi yang tidak pernah dibuka. Panggilanku terus dijawab oleh suara mesin penjawab, yang makin lama makin terdengar seperti ejekan.
“Al, memo permohonan kredit tadi sudah direvisi?” Suara Nadia membuyarkan lamunanku. Aku menarik napas, tersenyum palsu dan menjawab, “Sudah, coba cek email, Nad.”
“Kamu hilang, anehnya di waktu yang tepat.” Bisikku. Kantor sedang gila, di tengah hiruk pikuknya, di saat aku seharusnya tidak punya waktu untuk memikirkanmu terlalu dalam, karena harus jadi kacung kampret yang mutlitugas dan setengah hidup hanya untuk mengejar deadline dan memuaskan pelangan dan atasan.
Aku berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, tetap saja, setiap akhir pekan, saat semuanya melambat, ketika kopi pagi diseduh dalam sunyi, dan tempat tidur yang terasa luas, di situlah aku kembali mencarimu.
“Kamu ke mana, Sagara? Kenapa tidak memberi kabar? Apa aku tidak berarti apa-apa?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus bergulir seperti gumpalan debu di lantai yang tidak pernah kusapu – tidak besar, tapi cukup mengganggu.
Sagara seperti jelmaan fatamorgana. Sesuatu yang kupercaya nyata, bisa kupegang, kucium dan kupeluk, tapi entah bagaimana dia menguap tanpa jejak. Mungkin memang aku hanya sedang haus, haus akan cinta. Berharap akan ada seseorang yang tinggal, bukan sekedar singgah, dan dia, apakah bukan orang yang kumaksud.
Aku mulai belajar menertawakan diriku sendiri. Menertawakan betapa gampangnya aku jatuh cinta, betapa mudahnya aku percaya, betapa bodohnya aku mengira ini adalah sesuatu.
Tapi mungkin memang begitulah cinta yang belum selesai. Dia tinggal seperti hantu yang tidak tahu jalan pulang. Menyelinap di sela kesibukan, muncul tiba-tiba di sela tumpukan dokumen atau secangkir teh hangat di malam hari, lalu pergi lagi meninggalkan sesak di dada.
Dan kini, satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menapakkan kaki kembali ke bumi, mencabut diri dari ilusi yang telah membawaku terlalu jauh, menyadari bahwa aku tetap harus hidup, walau cerita itu belum berakhir dengan kalimat titik.
Mungkin, kabar darinya akan datang. Mungkin tidak.
***
Ririn : Al, kudengar Sagara melayar, ya?
Sebuah pesan singkat dari Ririn masuk tiba-tiba. Ririn – perempuan enerjik yang selalu bicara dengan mata berbinar – adalah kawan lamaku semasa aku berkelana di Jawa. Kami dipertemukan lewat lingkaran kecil seniman jalanan yang kerap mengadakan diskusi puisi dan seni kontemporer. Dia cerdas, punya semangat seperti api, dan selalu punya rencana untuk segala hal. Salah satu alasanku betah dulu tinggal di Yogyakarta adalah karena kehadirannya. Ririn selalu membuat tempat asing terasa akrab.
Yang menarik, aku baru tahu belakangan kalau dia ternyata mengenal Sagara, dunia ini memang kecil. Ternyata Ririn adalah salah satu penggerak komunitas seni rupa yang menggelar workshop tempat Sagara ikut serta. Kami bertiga sempat bertemu secara tidak sengaja di sebuah restoran. Saat itu, Ririn sedang membicarakan teknis acara bersama Sagara, dan aku – tanpa rencana apapun – masuk ke restoran yang sama untuk makan siang, lucunya, saat kami saling menatap, sama-sama bingung, dan malah menjadi nostalgia masa-masa dulu.
Sejak pertemuan itu, hubunganku dengan Ririn terjalin kembali. Padahal, kami sudah lama tidak saling bertukar kabar, tapi Ririn tetap seperti dulu – mudah menghangatkan suasana, membuat segala hal terasa ringan. Dia yang kemudian sering memberiku kabar tentang aktivitasnya, namun kali ini dia memberiku kabar tentang orang yang telah menjadi buron dalam hidupku – yang jujur saja, membuatku sedikit gemetar.
Aku belum tahu harus membalas pesannya bagaimana, aku bahkan mendengar kabar soal Sagara “melayar” darinya. Aku tidak langsung menanggapi pertanyaannya, hanya membalas dengan bertanya kabarnya, basa-basi perempuan yang sudah terlalu lama tidak bertemu. Kami berakhir mengobrolkan soal hal-hal remeh ; buku yang sedang dibaca, atau kabar angin tentang teman-teman lama.
Namun, pesan itu menempel di kepalaku.
“Apa yang sebenarnya sedang kamu lakukan, Sagara?” tanyaku dalam hati.
Aku menengelamkan diri dalam perasaan yang campur aduk, mencoba berdiskusi dengan bayanganmu, seolah sosokmu nyata dan bisa kuajak bicara.
Sagara, kudengar kamu melaut, benarkah? Kalau iya, akhirnya kamu benar-benar pergi juga, menikmati waktumu, mengarungi lautan seperti yang selalu kamu impikan. Dengan kepribadianmu yang ramah dan terbuka, pasti kamu sudah bertemu dengan begitu banyak orang baru, atau mungkinkah kamu telah menemukan cinta yang baru?