Meski hati sedang berantakan, aku tetap memutuskan untuk memenuhi janjiku bertemu dengan the ladies – sahabat-sahabat perempuanku yang sesekali ingin berkumpul sejenak dari penatnya hidup. Hanya untuk saling berbagi cerita, keluh kesah, atau sekedar melepas tawa. Kami menjadi akrab karena memiliki keluhan yang sama ; waktu kami terlalu banyak dihabiskan untuk mengabdi pada orang lain.
Tapi hari ini berbeda. Kali ini, aku merasa jadi pusat pembahasan. Penyebabnya jelas ; Sagara Haddi – the one and onlu, poros masalah dalam hidupku sekarang. Setelah menghilang tanpa kabar, tiba-tiba saja dia muncul lagi, dan sekarang sudah menyandang status sebagai suami orang.
“Aku lelah… beri aku pelukan…” lirihku, menahan ari mata yang sejak tadi sudah memenuhi pelupuk.
“Ada apa, Al?” tanya Chyntia, sahabat sejak masa kuliah.
Sebenarnya aku sudah tidak punya energi untuk menceritakan kembali kisah cinta yang selama ini begitu aku banggakan. Tapi aku tahu, aku harus menyelesaikan bab ini di hadapan mereka. Mungkin dengan begitu, aku bisa mendapatkan kekuatan yang aku butuhkan.
“Sagara yang hilang di telan bumi itu, tiba-tiba kemarin aku nggak sengaja bertemu dengannya. Dan, dia pakai cincin… di jari manisnya.”
Semua pasang mata langsung menatapku, penuh penasaran.
“HAH?! Bener-bener deh tuh orang, ngilang-ngilang ternyata kawin!” seru Chyntia, penuh amarah. Memang, dari dulu dia satu-satunya yang tidak pernah menyukai hubunganku dengan Sagara.
“Belum tentu kawin, mungkin baru tunangan.” Sela Nadia, berusaha menenangkan.
“Cincinnya di tangan kiri atau kanan?” tanya Chyntia tajam.
“Kanan.” Jawabku lemas.
“Nah, tuh kan! Itu mah jelas kawin.” Tegasnya mantab.
“Pernikahan itu bukan akhir, bukan juga jalan keluar. Pernikahan adalah pilihan. Seseorang pernah bilang itu ke aku.” Ujar Nadia tenang.
“Kalau begitu,” sambung Chyntia. “Pertanyaannya sekarang ; siapa yang lebih bahagia – orang yang menikah, atau yang memilih untuk tidak menikah?”