Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #14

Ternyata Cinta Itu Rumit Ya!

Sejak langkah pertama memasuki kedai kopi ini, aku sudah tahu di mana Sagara akan duduk. Entah kenapa, seolah naluri lamaku masih bekerja dengan baik saat menyangkut dirinya.

Tanpa harus mencari terlalu lama, mataku langsung tertuju pada sudut ruangan belakang, dekat taman kecil. Tempat itu, memang selalu menjadi pilihannya, seolah tidak pernah ada yang berubah darinya, bahkan setelah sekian lama.

Dan benar saja, di sanalah dia. Duduk sendiri, melambai dari kejauhan. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menyiratkan sesuatu – seperti seseorang yang benar-benar menunggu sesuatu.

“Hi, Al.”

“Hi, Sagara.”

“Apa kabar kamu?” tanyanya.

“Baik.” Jawabku singkat. Tapi dalam hati, aku bertanya-tanya – apakah aku harus merasa diperhatikan? Haruskah aku bersyukur karenanya? Dan jika iya, apakah itu berarti aku juga harus membalasnya, dengan pura-pura peduli, dengan mencoba mencari tahu kabar dari seseorang yang pernah membuatku jungkir balik menata hati, karena pergi tanpa penjelasan setelah semua yang dia lakukan padaku.

“Terima kasih sudah mau bertemu denganku. Aku tahu aku salah… menghilang begitu saja tanpa penjelasan.”

“Nah, tuh kamu tahu kamu salah.” Bisikku dalam hati.

“Sekarang aku akan menjelaskan semuanya.” Wajahnya tampak khawatir. “Al, aku bergulat dengan diriku sendiri,menahan diriku untuk menghubungimu, karena aku sadar ini tidak adil untukmu. Tapi dorongan ini terlalu kuat. Akuharus berbicara denganmu.”

“Apa yang terjadi, Sagara? Benarkah kamu sudah menikah?”

“Benar. Tapi kamu harus mengerti apa yang sebenarnya aku rasakan. Di saat semua orang mengira aku sudah menemukan cinta itu, tapi kenapa aku menemukan cinta lainnya yaitu kamu.”

Aku benar-benar dibuat habis kata-kata. Satu bagian dari diriku ingin memeluknya, bagian lainnya ingin menamparnya.

“Apakah aku terlalu mencurahkan perasaan ini padamu Al Meera? Sampai aku lupa bagaimana rasanya mencintai orang lain selain kamu.”

“Lalu, kenapa tidak memilih aku, Sagara?” aku bersungguh-sungguh tentang hal ini. “Walaupun aku tidak seharusnya kecewa pada setiap keputusan yang dipilih oleh siapapun termasuk keputusanmu pergi saat itu dari hidupku, di saat aku sangat menginginkanmu.”

“Aku…” katanya terputus. “Aku sudah lama bersama Darra sebelum mengenalmu. Kami sudah berencana menikah.” 

"Oh.. perempuan itu bernama Darra." Bisikku. 

“Aku pikir aku cinta padanya, tapi setelah mengenalmu, kenapa semuanya berubah. Kamu berwarna, kamu mengejutkan, hidup bersamamu terasa penuh gairah.”

“Apa aku ini godaan untukmu?” tanyaku kesal, walau diam-diam, ada kebanggan kecil bahwa aku sedahsyat itu. Tapi semua ini sudah berubah menjadi bencana, kenapa harus bertemu orang yang tepat di waktu yang salah.

“Kamu cinta padaku, Al?” Tanyanya terasa mengalihkan topik.

“Ya, tentu saja aku mencintaimu, aku mendambakanmu lebih dari kemarin, tapi mungkin besok tidak sebesar hari ini.Aku juga telah melupakan harga diriku untuk bertemu denganmu, karena betapa terlalu banyak pertanyaan yang telah kucatat dan menunggu jawabannya darimu."

“Al, percayalah padaku. Pada saat detik-detik aku akan melangsungkan pernikahan pun, kamu yang ada di pikiranku.”

“Apa yang kamu harapkan sekarang dari hubungan kita, Sagara?”

“Aku tidak mau kehilanganmu, Al.”

“Dan bagaimana istrimu? Kamu pikir aku bisa mencintai suami orang tanpa dihantui rasa bersalah setiap hari?”

“Aku tidak mau jadi penjahat dalam hubunganku sendiri, Sagara.” Ucapku lirih. “Kalau kamu sampai meninggalkan istrimu untukku, aku tidak yakin aku bisa memikul beban itu sendirian.”

Kita hanya punya satu alasan untuk tetap bersama, yaitu keegoisan. Sedangkan, terlalu banyak alasan untuk berpisah.

“Kenapa kamu harus datang kembali di hidupku Sagara?” tanyaku lirih. “Walaupun aku merasa masih ada sesuatu yang belum tuntas dari hubungan kita.” sesalku.

“Apa yang harus aku lakukan pada perasaan ini, Al? Perasaan ini anugerah.”

Aku terlalu takut berharap bisa bahagia dari hubungan yang salah. Bahkan berharap bisa memiliki jiwamu sepenuhnya saja sudah merupakan larangan.

“Setidaknya sekarang aku tahu alasannya. Walaupun penjelasanmu juga yang menghancurkan hatiku.”

Hatiku patah, tapi sebagian tanyaku terjawab. Tapi tetap saja, dengan kamu kembali datang padaku, menyatakan isi hatimu, jika hubungan ini dipaksakan pada akhirnya kita hanya mencari pembenaran untuk sesuatu yang jelas-jelas salah. Walaupun aku masih belum bisa melepaskan sepenuhnya perasaanku padamu, Sagara.

“Kamu membuatku benar-benar berpikir keras, Sagara.” Kataku kesal. “Kalau begitu, aku yang harus mengambil keputusan, aku tidak mau terlalu berisik dengan harus mendiskusikannya dengamu. Karena aku tahu, semua ini tidak akan lagi membawaku ke tempat yang eksotik dan baru lagi, kita cuma sedang menyusun bencana.”

“Beri aku waktu, Al.” Mohon Sagara.

“Waktu untuk apa?” 

“Untuk kita berpikir. Supaya bisa memutuskan mana yang terbaik untuk hubungan kita,” mohonnya. “Apa dunia akan mendukung kita?” tanyanya.

“Kamu bertanya padaku?” kataku kesal.

Dia menggenggam tanggaku, kembali mengalihkan perhatianku, sambil berkata, “Aku senang melihatmu, Al.”

“Aku juga senang bisa melihatmu, Sagara.” Bisikku, tanpa bisa aku nyalakan suara dalam hati ini. Bertanya dalam hati, mengapa aku tidak bisa melepaskan Sagara? Apa karena kita sama-sama menginginkan untuk tetap bersama? Apakah rasa patah hati ini belum cukup untuk membuatku sadar bahwa cinta kita hanya akan membawa luka?

“Tidakkah kamu mau memberikanku kesempatan untuk merindukanmu?” tanyaku pelan memecah keheningan antara aku dan Sagara. “Bagaimana kalau kita akui bahwa hubungan ini  kacau, tapi kita tetap ingin menjalaninya. Apakah kita akan sering bertengkar?”

Dia tersenyum lemah, dan berkata, “Kalau kita tidak ingin ini berakhir, maka kita bisa menjalani hidup bersama dengan sengsara, tapi bahagia karena tidak berpisah.”

“Kurasa, dengan melihatmu bahagia adalah satu hal yang kupercayai bisa membuatku bertahan.”

“Seperti apa aku saat aku bahagia?” Tanyanya.

Lihat selengkapnya