Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #15

Cinta Lama Belum Kelar

Keesokan paginya, asam lambungku sudah membaik. Aku kembali memaikan peranku sebagai kacung kampret. Kulihat Nadia sudah duduk manis di mejanya, begitu melihatku, dia buru-buru bangun dan menghampiri meja kerjaku.

“Kamu udah baikan? Asam lambungmu?” tanyanya.

“Udah baikan.” Kataku menyakinkanya, tapi gelagatku menjadi tidak tenang, karena tidak bisa untuk tidak memuntahkan kejadian kemarin padanya. “Nad.” Panggilku ragu-ragu.

“Apa?” Nadia memicingkan matanya, penuh curiga, tapi pasti dia tahu maksud hatiku. “Kamu bertemu Sagara lagi ya?” Benar saja kan, dia mungkin punya kelebihan membaca pikiranku, karena selalu tahu isi dalam otakku ini.

“Tidak lama setelah kamu pulang, dia tiba-tiba muncul di depan apartemenku.” Jelasku.

“Terus?” Nadia tidak akan berhenti mencari tahu sampai puas. “Ngapain lagi dia sampe nyamperin kamu?”

“Apa kamu mau memberiku sedikit nasihat.” Ujarku.

“Nasihat?” Nadia membuat raut wajah bertanya-tanya.

“Atau kamu boleh menghakimiku,” sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Nadia langsung memotong omonganku.

“Tidak. Aku bukan mau menghakimimu.” Potongnya.

Please. Kamu temanku yang paling suka menghakimiku.” 

“Benar juga.” Akunya dengan gelagat penuh drama, sambil memutar bola matanya sambil mengayunkan tangannya dan terlihat sangat lucu, kami tertawa sejenak, tapi Nadia kembali melanjutkan penghakimannya padaku. “Kamu tahu, menurutku ketika seorang teman yang mencoba jujur, mungkin terlihat suka menghakimi ini, kamu perlu mempertimbangkan maksud baiknya.”

“Tentu saja,” sambil menyimak.

“Menurutku, Sagara sedikit keterlaluan. Intinya, berhati-hatilah.” Nadia menyudahi obrolan ini dan pergi meninggalkanku yang termangu.

*** 

Neel Surya : Al Meera, aku kembali ke Bandung… karena cintaku yang sesungguhnya ada di sana.

Di tenggah kekalutan pikiranku tentang Sagara, tiba-tiba pesan dari Neel Surya masuk ke pinselku – singkat, penuh tanda tanya. Seseorang tidak akan mengungkapkan keyakinannya sembarangan, kecuali jika dia benar-benar merasakannya hingga ke dasar hati. Karena sesungguhnya, keyakinan itu bukan sekedar pendapat – perasaan itu adalah hasil dari pengalaman yang diproses dengan sepenuh hati.

Anehnya, pesan dari Neel justru terasa seperti berkat kecil. Mengalihkan pikiranku sejenak dari luka yang Sagara tinggalkan. Mengingat kembali bahwa Neel adalah sosok yang pernah menjadi tempatku bersandar, seseorang yang sempat kulupakan keberadaannya, kini kembali muncul bersamaan dengan kesedihan yang menggulungku.

Siapa yang bisa menolak untuk jatuh cinta? Cinta sering datang tanpa aba-aba. Kita dipertemukan, lalu saling jatuh hati dan kini, kita terpisah dan patah hati – cinta itu sekarang pergi ketika salah satu dari kita mencoba mempermainkan jalannya takdir, pasti karena campur tangan Tuhan. Mungkin itulah cara terbaik menggambarkan kisah cintaku saat ini.

Kembali ke Neel. Seperti yang pernah kusinggung, Neel adalah teman lama – satu kampus, satu jurusan. Salah satu orang paling baik yang pernah ku kenal. Pesan darinya terdengar sangat ganjil, tiba-tiba, dan penuh makna. Tapi tetap saja, aku harus membalasnya.

Al Meera : Neel, apa maksud dari pesanmu?

Pesan dariku tidak langsung berbalas. Beberapa saat kemudian, ponselku berdering, nama Neel Surya muncul di layar. Tanpa ragu, aku menjawab panggilannya.

"Neel," sapaku pelan.

"Al Meera," ucapnya, seperti biasa – menyebut namaku dengan lengkap. Dulu aku pernah memintanya cukup memanggilku “Al”, tapi dia menolak, katanya namaku itu indah, terlalu sayang untuk dipotong.

Seolah waktu terlipat, aku mendadak terlempar ke masa lalu – ke masa muda yang ceroboh dan ceria. Rasanya seperti baru kemarin kita berkejaran dengan jadwal kuliah menyusuri tangga kampus yang Neel suka sebut “tangga aborsi”, saking curamnya. Nongkrong di undakan tangga batu, menyapa siapa saja yang lewat, sambil mendengar Neel berkomentar tentang gaya berpakaian mahasiswa yang lalu-lalang. Atau momen ketika kami duduk di “segitiga cinta” menikmati es Nutrisari rasa Floridina Orange yang dibeli dari jongko Bang Aziz.

Semuanya dimulai dengan sangat sederhana. Neel – laki-laki asing dengan senyum bergigi rapi – menghampiriku di suatu hari saat aku sedang duduk di salah satu bangku panjang di pelataran kampus, sibuk membalas pesan dari seorang teman yang baru pulang dari Bali, bercerita tentang pengalaman pertamanya masuk klub malam berorientasi seksual tertentu.

Tanpa banyak basa-basi, Neel duduk di sampingku, mengajakku ngobrol, tanpa canggung dan tanpa ragu. Saat itu aku tidak menyangka – bahwa obrolan ringan itu adalah awal dari sesuatu yang di luar dugaanku. Seolah semesta diam-diam membantu menumbuhkan kedekatan kami, yang kini kusebut sebagai persahabatan.

Seseorang pernah bilang, persahabatan itu seperti sejarah. Dan kurasa, Neel adalah salah satu bab paling abadi dalam hidupku. Segala hal yang kami lalui – dari hal remeh sampai yang bermakna – penuh arti dalam setiap waktunya. Sahabat adalah sejarah yang tidak pernah selesai dia ditulis, dia akan terus berjalan, hingga sekarang.

Dulu, kami saling bertukar cerita. Lama kelamaan, perlahan, kami ada untuk segala hal. Meskipun kini hidup membawa kami ke kota yang berbeda, Neel selalu terasa dekat, jarak tidak pernah benar-benar memisahkan kami, karena ikatan ini – persahabatan ini – tidak pernah di buat-buat.

“Al Meera, apa kabar? Aku merindukanmu.” Lanjutnya di ujung sambungan telepon.

“Neel, aku baik-baik saja. Aku juga merindukanmu. Di mana kamu sekarang? Masih di Jakarta kah?”

“Aku kembali ke Bandung, Al Meera. Seperti yang aku sebutkan di pesanku.”

“Oh, kalau gitu, ayo kita bertemu Neel.”

“Tentu saja. Secepatnya, ya. Aku akan menghubungimu begitu semua urusan perpindahan kelar.”

“Gak sabar.” Menunggu waktu itu tiba, jujur.

“Aku juga.” tutupnya, menutup sambungan telepon ini.

Mendengar suara Neel di seberang sambungan telepon terasa seperti ditarik kembali ke masa lalu. Ada nuansa nostalgia yang menyelinap perlahan. Dulu, kami nyaris saling jatuh cinta – belum sepenuhnya, belum sampai dalam. Karena cinta sejati selalu butuh waktu, kenangan dan keberanian untuk mengakuinya. Tapi kita sudah sejauh itu – sejauh pandangan pertama yang telah terlalu lama disimpan. Entah kenapa, rasa itu tidak pernah bisa benar-benar kami nyatakan, hanya menggantung di udara, mengendap sebagai kemungkinan yang tidak pernah sempat ditegaskan.

Neel Surya : Kamu harus merayakan kedatanganku kembali!!

Tidak lama setelah panggilan telepon itu berakhir, sebuah pesan dari Neel kembali masuk. Isinya seperti perintah setengah ancaman, tapi dengan gaya khas Neel yang membuat segalanya terasa ringan dan hangat. Dan ya, meskipun dia menyampaikannya seperti lelucon, aku tahu, aku akan menyambut kepulangannya ke Bandyng dengan senang hati.

Lihat selengkapnya