Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #16

Lukisan

Aku berbohong pada diriku sendiri.

Aku bilang aku baik-baik saja. Saat melihat Sagara menggenggam tangan Darra dan tersenyum. Sebenarnya hatiku remuk.

Hubunganku dengan Sagara, sejak awal selalu seperti bayang-bayang, timbul-tenggelam, hilang-muncul, lalu menghilang lagi seperti kabut. Komunikasi kami pun terbatas, aku menahan diri untuk tidak memulai – aku tidak mau menghubunginya lebih dulu. Aku tidak ingin memberikan hatiku peluang sekecil apapun untuk kembali berharap, karena apa gunanya memulai kalau akhirnya hanya akan menyakitkan.

Aku juga tahu, hubungan ini tidak sehat, hubungan ini tidak baik, hubungan kami tidak akan pernah ada yang merestuinya, bahkan mungkin diri kami sendiri pun tidak. Aku berkata itu berkali-kali, sebagai mantra, tapi hati ini mana pernah patuh pada logika.

Tapi, bukan Sagara namanya jika tidak penuh kejutan. Dan selalu tahu caranya merusak dinding pertahanan yang susah payah kubangun.

Pagi ini, sebuah paket besar dikirim ke apartemenku. Petugas jaga mengabariku, kalau paket itu dari seseorang bernama Sagara. Namanya saja sudah cukup untuk membuatku berhenti bernapas sejenak.

Begitu sampai, di ruang tamu berdiri kardus besar. Aku ragu membukanya, menebak-nebak apa isinya, takut, tapi juga penasaran. Saat kubuka, ternyata di dalamnya adalah lukisan. Lukisan yang dulu pernah kita bicarakan, yang katanya terinspirasi olehku.

Aku terpaku, menatap lukisan itu lama. Kanvas itu memuat sosok perempuan yang wajahnya samar, tapi aku tahu itu aku, atau versi diriku di matanya. Indah dan penuh warna – betapa berbakatnya dia, pikirku.

Lalu, aku menemukan terselip sebuah amplop kecil di balik bingkai. Kuperhatikan, tulisan tangannya masih sama – masih seperti saat dia menuliskan nomor teleponnya di balik nota bon di kedai kopi, di hari pertama kita bertemu.

“Teruntuk Al Meera.

Masih ingatkah sosok perempuan dalam lukisan ini?”

Aku mengangguk pelan. “Tentu saja.” Jawabku, seolah sedang berdiskusi dengan lembaran kertas di tanganku.

“Pasti kamu ingat. Sosok perempuan itu adalah kamu, yang aku gambarkanmu sebagai seorang penari. Kenapa seorang penari? Karena saat aku melukis ini, kuasku bergerak bebas tidak lagi kutuntun, mengalir, dia menari sendiri. Warnanya menari, bayanganmu pun ikut menari-nari dalam pikiranku.

Lukisan ini kubuat tidak lama setelah kita bertemu di kedai kopi. Aku begitu terinspirasi. Anehnya, lukisan ini selesai begitu saja, tanpa aku sadari. Begitu juga perasaanku padamu.

Aku tidak pernah bisa memilih siapa yang akan datang. Pertemuan ini adalah kebetulan, aku tidak pernah bisa menentukan sendiri bahwa aku akan bertemu denganmu, terinspirasi olehmu, menyukaimu, dan pada akhirnya aku jatuh cinta padamu.

Dan dengan penuh kesadaran, saat aku pun menuliskan ini. 

– Sagara.”

Mataku menatap surat ini lama sekali, tanganku bergetar, hatiku bergetar lebih parah. Aku menghela napas panjang, aku duduk di sofa, lalu berdiri lagi, aku menatap langit-langit, seolah ada jawaban di sana. Sudah hampir seminggu sejak terakhir kita bertemu, dan aku masih saja bingung bagaimana harus bersikap.

Aku bangkit, berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diriku sendiri. Wajahku terlihat tenang, tapi betapa remuk-redam aku di dalam – orang tidak akan tahu isi hatiku ini.

“Apa kamu mencintai Sagara? Apa kamu merindukannya?” tanyaku pelan pada bayangan Al Meera di cermin, tapi bayangan itu tidak menjawab. Dia hanya menatapku – seperti tahu, tapi tidak berani mengaku.

Aku teringat ucapan Nadia, tidak apa-apa jatuh cinta dan rindu, dengan begitu kamu tinggal kirimi dia dengan banyak rasa cinta dan rindu dalam bentuk doa setiap kali kamu memikirkannya. Lalu hempaskan, supaya hatimu punya ruang untuk sesuatu yang baru.

Aku menyentuh cermin itu, berusaha meyakinkan sosok yang ada di dalam cermin, bahwasanya tidak ada yang abadi, rasa ini juga lambat laun akan pudar. Hanya saja, satu kalimat yang selama ini terus-menerus bergema di kepalaku, yang belum bisa kuucapkan langsung padanya adalah, “Kembalilah pada Darra,”.

*** 

Sesulit apapun masalah hidup, sahabat memang bukan solusi. Mereka tidak menjanjikan jawaban, tapi mereka bisa duduk di sampingmu saat dunia terasa berat. Mereka tidak menyembuhkan luka, tapi setidaknya mereka bisa membuatmu tertawa, walau hanya sejenak. Mereka adalah tempat kita pulang. Begitulah arti sahabat untukku, memang tidak sempurna, tapi selalu terasa tulus.

Rani datang dengan semangat yang terlalu tinggi untuk ukuran pagi yang mendung. Dia sedang terobsesi dengan Yoga.

“Kalian tahu,” katanya sambil menyesap teh hangat. “Hidup kita ini butuh keseimbangan.” Dari tadi, dia terus mengulangi kata itu ; keseimbangan.

Aku mengangguk setengah hati. Teori yang dia ceritakan mengingatkanku pada yang pernah kubaca tentang orang-orang Bali, bagaimana hubungan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan. Tentang mengenali di mana dirimu berada, agar kamu tidak kehilangan arah.

“Hidup sudah terlalu gila,” Rani menyimpulkan. “Dan kalau kamu kehilangan keseimbangan, kamu juga akan kehilangan kekuatan untuk hidup.”

Aku tidak menyangkal hidupku memang sudah dibuat gila oleh Sagara. Tapi, memikirkan keseimbangan hidup sekarang, rasanya malah membuatku makin limmbung.

“Coba deh pagi-pagi kalian meditasi. Duduk diam dan tersenyum.” Kata Rani.

“Itu hal mudah.” Ucap Nadia enteng.

“Tidak semudah itu.” Rani kesal.

Lihat selengkapnya