Love In The Ocean

Ayu S Sarah
Chapter #17

Prisilia Darra

Setelah beberapa hari mengurung diri, Darra masih saja dihantui air mata. Setiap kali mengingat luka yang ditorehkan oleh suaminya, tangis itu datang lagi, tanpa bisa ditahan. Pagi ini, dia tampak gelisah, kepalanya dipenuhi amarah – bukan hanya kepada perempuan yang telah menghancurkan rumah tangganya, tapi juga pada Sagara, lelaku yang memilih menjadi penghianat dalam kisah mereka.

Darra keluar dari kamar dan menemukan Sagara duduk di meja makan. Begitu melihat Sagara, keyakinannya goyah – di saat sebelumnya tidak ingin mencari jawaban, kali ini lain cerita. Tanpa basa-basi, dia mendekat dan berdiri di hadapan suaminya.

“Sebutkan namanya, dan berikan aku nomor teleponnya.” Suaranya tegas, tidak menyisakan ruang untuk negosiasi.

Sagara menatap Darra sejenak, mencoba tetap tenang. “Aku perlu tahu dulu, apa yang akan kamu lakukan. Beri aku alasan logis, dan berjanjilah kamu tidak akan membuat semuanya semakin buruk.”

“Kenapa aku harus memberi alasan logis? Tentu saja aku akan memakinya! Membuat dia merasa bersalah, aku ingin dia tahu rasa!”

“Sayang, tolong… tenangkan dirimu dulu.” Pinta Sagara lirih. “Al Meera tidak sepenuhnya salah. Aku yang salah.”

Seketika, wajah Darra berubah. “Oh… jadi namanya Al Meera.” Nada suaranya dingin dan tajam, tapi ada senyum kecil yang muncul – senyum getir milik perempuan yang akhirnya menemukan kepingan penting dari teka-teki ini.

Sagara menyadari kesalahannya, dia panik. “Tunggu Darra, dengarkan aku dulu…”

Tapi Darra tidak memberinya ruang, dia berjalan cepat ke arah garasi, menyalakan mobilnya, dan melaju tanpa menoleh ke belakang. Dia tidak tahun akan ke mana, yang penting jauh dari Sagara, jauh dari pengkhianat.

Begitu emosinya mereda, Darra berhenti di sebuah tempat parkir. Dia membuka ponselnya, dia tidak punya nomor Al Meera, tapi Tuhan menganugerahi perempuan dengan intuisi yang tajam, terutama saat terluka, dan Darra mengandalkannya.

Jari-jarinya lincah menari di atas layar. Beberapa menit berselang, dia berhasil menemukan aku media sosial Al Meera. Tanpa ragu, dia mengiriminya pesan.

Prisilia Darra : Hi Al Meera. Perkenalkan saya Darra, istri dari Sagara. Bisa kita ketemu.

Di saat yang sama, Al Meera sedang berada di kantor. Awalnya notifikasi di ponsel tampak seperti pesan biasa, tapi saat dia melihat nama pengirimnya, dadanya langsung sesak.

Tangannya gemetar, ponsel yang semula ringan kini terasa seperti menanggung dunia. Dia terduduk lemas di kursinya. Pikirannya berputar cepat, apa yang harus dia balas? Haruskan dia menjelaskan? Menyangkalnya? Atau meminta maaf?

Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha tenang. Lalu, dengan jemari yang masih sedikit gemetar, dia membalas pesan itu, dia mengetikan satu kata tanpa perlu menjelaskan banyak hal.

Al Meera : Baik.

Mereka akhirnya sepakat bertemu.

Sebelum pergi, Darra pulang terlebih dahulu. Dia mandi, berdandan lebih cantik dari biasanya. Kalau biasanya dia hanya memakai riasan sederhana, hari ini dia memoles dirinya sebaik mungkin. Di depan cermin, dia berbisik pelan sambil menatap bayangannya.

“Kamu cantik, kamu baik-baik, kamu berharga dan kamu layak bahagia.”

Setelah puas menyemangati dirinya sendiri, dia mengajak Al Meera bertemu di Café M. hari itu, langit cerah, dan angin berhembus ringan. Darra tiba lebih dulu dan memilih duduk di serambi, dia ingin menikmati angin sepoy-sepoy dan memantapkan hatinya – ini adalah medan perang.

Beberapa menit kemudian, Al Meera datang – dengan wajah tegang dan tubuhnya kaku. Dia langsung mengenali Darra, lalu duduk di kursi seberang. Ketegangan menggantung di udara, Darra menatapnya tajam, dia sudah menyiapkan peluru-peluru kemarahannya sejak pagi.

“Tidak perlu perkenalan. Aku tahu siapa kamu, dan apa yang sudah kamu lakukan.” Nadanya dingin dan tajam.

“Entah untuk apa aku mencarimu, tapi aku ingin tahu bagaimana semua ini bisa terjadi. Kamu juga perempuan, seharusnya tahu betapa menyakitkannya jadi aku.”

Al Meera hanya diam, mendengarkan. Wajahnya menampakkan penyesalan.

“Ceritakan versimu.” Ucap Darra.

“Sebelumnya aku minta maaf kalau apa yang kulakukan menyakitimu.” Ujar Al Meera, tapi Darra tetap diam, dia tidak menerimanya, tapi juga belum menolak.  

Al Meera menarik napas, lalu mulai bercerita. “Ini bukan kisah cinta yang indah, bukan kisah puitis. Ini klasik. Cinta biasa yang berujung pada penyesalan luar biasa, samudera penyesalan.”

Mata Darra mulai memerah, tapi dia bertahan.

“Aku bisa kehilangan segalanya karena cinta ini. Kebanggaan, reputasi, bahkan kesempatan untuk mencintai lagi.”

“Awalnya kami bertemu secara kebetulan, di sebuah kedai kopi, saat musim hujan. Aku hanya merasa senang bisa berbicara dengan orang asing yang terasa begitu nyambung. Sejujurnya, aku tidak ingin merasakan hal lain, selain sebuah pertemanan. Seharusnya aku tidak membiarkan reaksi kimia itu terjadi, tapi aku terlalu lengah.”

“Kamu cinta suamiku?” tanya Darra datar.

Al Meera tidak menjawab, tapi dari raut wajahnya, jawabannya jelas. Dia menunduk, tidak sanggup berkata-kata.

“Sudah berapa lama?”

Al Meera kembali diam.

“Tidakkah mengganjal bagimu? Bahwa dia suami orang, suamiku! Bahwa ini adalah perselingkuhan!”

Lihat selengkapnya