Sebuah ruang workshop seni, diterangi cahaya keemasan dari lampu gantung berwarna kuning yang menggantung rendah. Aroma cat minyak samar-samar tercium di udara, bercampur dengan wangi kayu tua dari lantai yang sudah banyak bercak cat kering. Kanvas-kanvas berbagai ukuran bersandar di dinding, beberapa penuh coretan warna, yang lainnya masih polos menunggu sentuhan kreativitas.
Di tengah ruangan, terdapat meja kayu besar yang dipenuhi tabung cat, kuas dengan bulu yang mengeras. Palet penuh campuran warna, dan gelas berisi air yang keruh. Musik instrumental mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, menambah suasana tenang namun penuh inspirasi.
Sagara berdiri di depan kanvas, tangannya memegang kuas, namun pikirannya jelas melayang-layang entah ke mana. Tatapannya menerawang, dia hanya membuat goresan-goresan samar yang belum jelas membentuk apapun. Wajahnya terlihat lebih tenang malam itu, ada sesuatu yang berbeda – sesuatu yang tidak terucapkan namun terasa di atmosfer sekitarnya.
Di sudut lain, sahabat baiknya, seseorang laki-laki dengan rambut sedikit berantakan, dan mengenakan apron yang penuh dengan noda cat, memperhatikan Sagara dengan pandangan penuh selidik. Dia tahu, tahu benar ada yang berubah dengan sahabatnya itu. Setelah beberapa saat, dia mendekati Sagara, bersandar di meja dengan tangan terlipat.
“Kamu melukis atau melamun, bro[1]?” ucapnya, setengah bercanda tapi sarat makna.
Sagara hanya tersenyum tipis, menghela napas, lalu menatap kanvasnya yang belum jadi. Ada siluet wajah samar di sana-wajah seorang perempuan, namun belum sepenuhnya terlihat.
Sahabatnya itu pun menyadari siluet wajah samar itu yang tergambar di atas kanvas Sagara, tapi dia tidak mengenal siapa sosok perempuan yang tergambar.
“Dia yang buat kamu kayak gini, ya?” lanjut Dennis, suaranya lebih lembut kali ini. Dennis Ananta Mandala atau biasa dipanggil Dennis adalah teman sesama seniman, mereka menjadi dekat sejak sama-sama sering mengikuti acara workshop. Dennis secara penampilan sangat berbeda dengan Sagara. Penampilan Dennis sedikit lebih berantakan dibanding Sagara. Selera seni mereka juga sangat berbeda, tetapi justru itu yang membuat mereka menjadi dekat dan berteman sampai saat ini.
Sagara tidak langsung menjawab, hanya menyandarkan kuas dan mengusap tengkuknya yang tegang. Cahaya lampu memantulkan sorot matanya yang sendu, seolah dia sedang bergulat dengan perasaannya sendiri.
“Perempuan itu.” Dennis menunjuk lukisannya, dan melanjutkan kalimatnya, “Kurasa bukan Darra.”
Sagara tetap tidak bersuara, seraya meninggalkan sahabatnya itu yang masih memperhatikan lukisannya.
Suasana workshop itu seakan menyimpan sebuah rahasia yang belum terucap maupun diungkapkan oleh Sagara. Warna-warna di kanvas yang belum selesai, bau cat yang menguap, semuanya menjadi saksi bisu bagi perasaan yang perlahan tumbuh kembali di hati Sagara.
Dennis mengekor Sagara kemana pun dia hinggap, seperti anak kucing yang mengekor induknya. Dennis terlihat cuek dari segi penampilan, tapi kalau urusan yang menarik perhatiannya, dia seperti haus akan sebuah penjelasan.
“Bro, jadi siapa sosok perempuan yang tergambar di kanvasmu?” goda Dennis pada sahabatnya yang membisu.
Sagara tertawa melihat sahabatnya yang terlihat penasaran soal sosok perempuan yang tidak sengaja tergambar begitu saja di atas kanvas miliknya. Sagara mengambil cangkir kopinya, perlahan meneguknya, melihat ke arah Dennis, berjalan ke sebuah sofa yang sudah dipenuhi noda cat yang malah terlihat berseni.
Cahaya lampu yang temaran dan aroma kopi yang menguar di udara, dua orang laki-laki duduk berdekatan, yang satu bersiap untuk mendengarkan sebuah cerita, yang lainnya terlihat senyam-senyum, matanya berbinar, matanya juga sesekali menerawang, seperti seolah-olah mengingat setiap detail perempuan yang bisa membuatnya seperti orang yang sedang jatuh cinta.
Sambil memaikan cangkir kopinya yang hampir habis, Sagara berkata, “Dia beda, bro. Aku suka cara dia tertawa, tertawanya lepas. Dan saat bersamanya aku kembali ingat rasanya terinspirasi, sebagai seorang yang mengaku dirinya sebagai seorang seniman, kamu tahu kan kalau terus terinspirasi artinya kita tetap hidup, hidup yang benar-benar hidup.” Ucapnya terasa penuh makna.
Di sampingnya, sahabatnya itu, Dennis, duduk bersandar dengan lengan terlipat di dada, mendengarkan dengan tatapan serius penuh dengan rasa penasaran. Sambil sesekali mengangguk, memberi ruang bagi Sagara untuk meluapkan semua cerita yang sarat rasa. Dia tahu betul, ada yang berbeda dengan sahabatnya itu, dan baru kali ini dia membicarakan soal perasaan yang penuh gairah.
“Dia buat aku melukis lagi. Aku ingin berkarya lagi. Rasanya seperti dia menghidupkan lagi bagian dari diriku yang sempat tidak berfungsi.” Jelasnya.
Dennis tersenyum nakal, lalu menepuk bahu sabahatnya. “Kayanya kamu beneran jatuh cinta, bro.”
“Aku nggak tahu, bro.” ucapannya kini pelan, suara yang sebelumnya penuh emosi dan percaya diri, kini terdengar sedih. “Sepertinya aku jatuh cinta, bro.” lanjutnya sambil menatap lurus ke luar jendela. “Tapi, aku lupa kalau aku sudah bersama Darra. Gimana perasaan dia tahu kalau aku membagi hatinya pada orang lain.”
Suara Sagara bergetar, pasti ada perasaan bersalah yang jelas tergambar dari raut wajahnya. Dennis terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang dan waktu di antara mereka. Dengan suara pelan tapi tegas, dia berkata, “Bro, perasaanmu itu nyata, tapi juga ada konsekuensikan, paham kan?”
Sagara mengangguk tanda setuju, “Ini yang bikin aku sedih. Aku nggak mau nyakitin Darra. Tapi setiap kali dengan Al Meera, rasanya selalu hidup, penuh kejutan, aku sama sekali tidak bisa mengusirnya dari benakku dan aku sangat menikmati setiap momem bersamanya.”
Dennis menatap sahabatnya itu dengan penuh empati, memahami betul dilema yang dihadapi Sagara, sebuah pertarungan antara cinta yang datang tiba-tiba dengan perasaan yang begitu kuat dan kesetiaan yang mulai diuji oleh waktu.
Dalam hatinya, Dennis jadi penasaran dengan sosok perempuan yang bisa membuat seorang Sagara yang selama ini dia kenal dengan kesetiaannya pada Darra, bisa menyimpan rasa yang sangat kuat. Dan bertanya-tanya apakah perempuan itu pun menyimpan rasa yang sama besarnya dengan Sagara. Lalu bagaimana dengan Darra.
***
Matahari mulai turun saat perempuan itu menginjak tanah lembab di pemakaman. Langit berwarna jingga pudar, seperti ikut meredam rasa duka yang Al Meera rasakan. Angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang menyuguhkan senyawa aromatik.
Dia berhenti di depan nisan putih yang sederhana, yang terlihat belum lama prosesi penguburannya. Jemarinya terlihat gemetar saat menyentuh ukiran nama yang tertera di sana, seolah dengan mengusapnya dia bisa mencurahkan rasanya pada sosok seseorang yang selama ini dia rindukan.
“Maafkan aku baru datang,” suaranya lirih, hampir seperti bisikan yang hanya mampu didengar oleh angin.
Mata Al Meera memanas, sepertinya tidak lagi sanggup menahan luapan emosi dalam hatinya. Kenangan menyeruak, tentang tawa, sentuhan dan semua cerita yang pernah mereka lewati bersama. Tapi kini yang tersisa hanya kesunyian. Rasa kehilangan yang menusuk begitu dalam.
Dia duduk di atas rerumputan, membiarkan air matanya mengalir tanpa ditahan. Rasa rindu yang selama ini ditahan-tahan akhirnya tumpah di tempat itu, di hadapan seseorang yang masih dia cintai meski sekarang hanya bisa mencintainya dalam doa.
“Kalau waktu bisa diputar, aku ingin sekali memperbaiki segalanya,” bisiknya dengan suara yang pecah.
“Gara, sebenarnya aku ingin datang waktu itu ke rumahmu, menyapamu untuk terakhir kalinya, melihat wajahmu, tapi aku tidak berdaya. Aku takut dan ada rasa malu. Aku bahkan menuliskan eulogi untukmu, mau aku bacakan?” Al Meera seolah sedang berdialog dengan sosok Sagara yang tidak kasat mata, sambil mengeluarkan kertas kusut dari dalam tasnya dan mulai menbacakan euloginya.
Tidak jauh dari pusara di mana Al Meera tadi terduduk sedih, berdiri seorang laki-laki dalam diam memperhatikan perempuan itu dengan sorot mata yang sulit diterjemahkan, antara iba, duka atau mungkin sesuatu yang lebih dalam. Laki-laki itu adalah sahabat dari sosok yang kini bersemayam di bawah nisan yang sama. Setelah lama memerhatikan perempuan itu, dia melihat betapa dalamnya cinta yang terpendam di hati perempuan itu, dengan memperhatikan caranya menggenggam nisan, meremas jemarinya sendiri seolah berusaha menahan semua perasaan yang mengalir deras.
Laki-laki tadi ingin mendekat, seperti ingin mengatakan sesuatu pada Al Meera, tapi dia mengurungkan niatnya, seolah ada dinding tidak kasatmata yang menahannya. Atau mungkin, karena dia tahu, ini adalah momen milik mereka-perempuan itu dan sahabatnya yang telah tiada, Sagara.
Matahari kian tenggelam, meninggalkan semburat jingga terakhir. Al Meera tetap duduk di sana, terdiam, hanya ditemani desiran angin dan suara gemerisik dedaunan yang jatuh satu per satu.
Sepulangnya dari makam Sagara, Dennis duduk di ruang workshop yang kini terasa begitu sepi dan luas dari biasanya. Aroma kopi hitam yang dulu sering diseduh Sagara perlahan memudar, menyisakan kehampaan yang menusuk dada. Matanya menyapi meja kerja sahabatnya itu, mencoba membereskan mejanya. Di antara tumpukan buku yang berantakan, sebuah buku catatan kulit kecoklatan tampak sedikit terbuka, seolah esoknya masih bisa melanjutkan apa yang sedang dia kerjakan.
Dia menarik perlahan buku catatan itu, membolak-balik halaman yang dipenuhi coreta puisi pendek dan sketsa wajah seorang perempuan yang dia tahu, yaitu Al Meera. Di tengah-tengah halaman, ada sebuah surat yang diselipkan. Dengan tulisan tangan Sagara yang khas, namun dengan tinta yang sedikit luntur, seperti ditulis dengan terburu-buru. Dia membacanya ;
Al Meera…
Aku terlalu pengecut untuk memilih. Jika takdir memilih perpisahan, ketahuilah bahwa kamu tetap menjadi bagian dari setiap nadi dalam hidupku. Aku ingin kamu tahu, aku benar-benar mencintaimu.