Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #1

Bab 1


“Baiklah Rosano, ceritakan mengenai dirimu,” tanyanya sambil terus menatap berkas-berkas kandidat di tangan. 

“Saya adalah pribadi yang dinamis dan selalu memastikan gelas saya terisi setengah, tidak pernah kosong!” Rosano menekankan pada kata-kata terakhir berharap mendapat respon positif namun, sulit untuk dirinya melihat reaksi HRD yang bersembunyi di balik berkas lamaran. 

Ada jeda panjang sebelum HRD mengajukan pertanyaan selanjutnya, “apa kegiatanmu di luar kuliah dan setelah lulus?”

“Yang pertama setelah lulus, saya tentunya sibuk mencari pekerjaan dan yang kedua kegiatan saya di luar kuliah adalah mengikuti berbagai kursus online, terutama mengenai media digital. Lebih spesifiknya saya mengambil digital media analis.” Lalu Rosano menunjuk lembaran terbawah di CV yang sedang dipegang oleh HRD. “Sertifikatnya ada di situ.” 

HRD langsung mengangguk. “Impressive! Kenapa anda lebih memilih mengambil kursus online ketimbang kegiatan lain?”

"Semasa kuliah saya memang mencari kegiatan yang tidak memiliki mobilitas tinggi karena, masih takut dengan keadaan. Selain itu, saya juga berpikir bahwa ke depannya komunikasi pasti mengandalkan media digital."

HRD mengangguk dan melanjutkan dengan membuka lembaran lain dan kembali melihat ke arah Rosano. “Bagaimana dengan keluargamu dan kondisi kesehatan dalam satu tahun terakhir?”

Rosano menelan ludah, ini adalah pertanyaan yang sama dari satu perusahaan ke perusahaan lain. “Jika yang dimaksud adalah orang tua saya, makanya keduanya sudah almarhum setelah gelombang kedua dan saya sendiri non-reaktif selama ini, bisa dibuktikan dengan surat kesehatan yang diberikan oleh kampus,” jawabnya. 

Lagi-lagi HRD itu mengangguk lalu berkata, “ untuk saya semua tentang kamu sudah jelas dan lengkap, selanjutnya tunggu kabar saja. Paling lama satu minggu akan dikabarkan, baik lolos maupun tidak via email. Terima kasih dan silahkan keluar.”

Rosano memberinya senyum yang terasa sia-sia sebab, HRD itu terus saja membaca berkas-berkasnya. Ini adalah interview terbaik dari lima interview di minggu ini, Rosano merasa bisa menjawab dengan tepat semua pertanyaan tadi. Ia berjalan melewati beberapa pintu otomatis dan berhenti pada pintu utama yang dilengkapi sensor infra merah pembaca suhu tubuh. “Sudah?” tanyanya pada penjaga, saat sensor itu berbunyi beep. Penjaga itu pun mempersilahkan Rosano untuk keluar gedung.  

***

Langitnya cerah dan Rosano ingin sekali menghabiskan hari ini dengan nongkrong sambil menunggu kabar baik dan untuk itu, tidak ada tempat yang lebih baik ketimbang Hutan Kota GBK. Saat kakinya, memasuki kawasan yang konon menjadi tempat favorit warga ibu kota, jauh sebelum gelombang pertama dan kedua menerpa, suara gemericik air berpadu dengan cicitan puluhan burung yang menjadikan Hutan Kota GBK tempat bersarang, segera menyambut Rosano. 

Mata Rosano mengamati Hutan Kota GBK dan mulai berpikir bahwa, tempat ini sungguh ironi saat dahulu dinamakan hutan kota agar bisa dinikmati orang banyak tapi, ketika tempat ini benar-benar menjadi hutan, sudah tidak ada banyak orang lagi. Ia mengambil napas sejenak, menikmati udara sore sambil mengamati burung-burung yang pulang ke sarangnya. Beberapa terbang ke tanah dan mendekati seorang lelaki tua yang nampak, menebar serpihan roti. Bibir Rosano langsung mengembangkan senyum dan hendak menyapa lelaki tua tersebut. Namun, ia langsung mengurungkan niat dan hanya duduk sembari mengamati. Lelaki tua itu akhirnya, menyadari kehadiran Rosano, ia terdiam mengamati perempuan di ujung bangku taman kemudian bergegas pergi.  

Rosano pun kembali sendiri dan sayup-sayup suara adzan magrib terdengar. Ia pun melangkah pergi menuju statiun Sudirman dan ketika sampai sejauh matanya memandang, tidak ada satupun orang di statiun Sudirman. Suara mesin saat, dirinya tap kartu menjadi kesenangan sendiri dan bergegas turun ke peron hanya untuk mengetahui bahwa tidak ada orang lain yang menanti. Ia mulai bersenandung sebagai pengobat sepi, sampai kereta datang. Tidak lama commuterline jalur Bogor nampak, sepintas terlihat beberapa orang di gerbong depan. Hal tersebut membuatnya berjalan sampai gerbong depan. 

Terdapat seorang perempuan dengan blazer kerja, ia sibuk dengan gadgetnya. Rosano yang duduk di hadapannya, berusaha merekam setiap detil blazer itu dan memastikan akan mencarinya online. Dalam pikirnya, kira-kira wanita itu kerja di mana dan sebagai apa? Otak pengangguran Rosano terus saja menebak-nebak, mulai dari harga dari outfit yang dikenakan. Tepat saat pandangannya ke arah tas, terdengar. “Statiun Duren Kalibata …” Wanita itu turun dan Rosano kembali seorang diri di dalam gerbong. 

Ano mengalihkan pandangan ke luar, memperhatikan lampu-lampu di setiap rumah. Mengapa masih menyala? Pikirnya, lalu dengan cepat membuang pikiran tersebut, mencari hal lain untuk mengisi kehampaan di gerbong. Jari-jemarinya mulai scrolling timeline dan semuanya masih seperti delapan jam lalu. “Untuk apa juga setingan Twitter di Indonesia? Lebih baik dialihkan ke negara yang masih banyak orang hidupnya seperti, Swiss,” gumamnya lalu me-refresh dan nampak beberapa tweet baru di timeline, sialnya semua dalam bahasa Perancis. 

“Statiun Depok Baru …” Lantang terdengar dari pengeras suara dalam gerbong. 

Wangi roti boy tercium jelas di hidung Rosano, begitu melangkah ke luar gerbong. Lagi-lagi kosong sejauh matanya memandang, tidak ada petugas, tidak ada penjaga kios dan tidak ada penumpang lain yang turun untuk pulang ke rumah. 

Lihat selengkapnya