Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #5

Bab 5

Ano benar-benar menyesali keputusannya mengirim mail chat Pak Divo tadi malam karena, baru juga jam 9 pagi matanya sudah disuguhi pemandangan file ZIP excel sebesar 131MB. Begitu file excel telah diextractnya, andrenalin langsung menendang sebab, ada ratusan data terkait KOL performance dan analytic campaign. Kebanyakan dari data-data ini merupakan traffic campaign dan ketika Ano memperhatikan dengan seksama hampir sebagian besarnya tanpa engagement

Melihat apa yang salah itu mudah namun, mengubah data menjadi sesuatu yang gampang dipahami orang lain, itu adalah merupakan perkara sulit, terlebih untuk fresh graduate seperti Ano. Akhirnya ia mencoba membagi file-file tersebut, dari traffic tertinggi sampai terendah kemudian menandai mana yang memiliki engagement tinggi. Sampai di sini Ano mulai bingung sehingga mulai melirik kanan dan kiri untuk mencari pemandangan yang sekiranya mampu memberi inspirasi. Lantai divisi digital marketing ini, terletak di atas divisi marketing dan di bawah divisi pemeliharaan insfrastruktur. Tidak begitu luas karena hanya berisi dirinya dan Pak Divo namun, tidak pernah sepi sebab lantai ini menjadi jalur hilir mudik anak marketing yang tanpa alasan sering melintas dan melirik ruangan kaca Pak Divo lalu, ada anak IT yang sering mondar-mandir berurusan dengan divisi pemeliharaan infrastruktur. Ini membuat Ano merasa seperti resepsionis di lobby yang ramai, mengamati beragam orang lalu lalang.

Jam 10 dan belum ada tanda-tanda Pak Divo datang sementara, data-data masih belum juga terpikirkan bagaimana akan diolah. Ano yang bingung bercampur resah karena, tidak ada satupun yang bisa diajaknya berdiskusi. “Kenapa divisi ini cuma aku seorang?” herannya, menatap orang-orang yang hilir mudik dan berpikir bahwa, mereka juga pasti menanyakan hal yang sama. Akhirnya ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah, membeli segelas kopi di minimarket.

***

“Hei anak baru.”

Ano langsung menoleh dan melihat perempuan berkacamata, secepat mungkin ia mencoba mengingat namanya. “Halo, yang bagian redaksi yah?” 

“Sisca lebih tepatnya, padahal manusia di sini sedikit tapi, masih bisa juga lupa,” balas head redaksi itu.

“Maaf, masih belum hapal orang-orang di sini.” Yang dimaksud Ano adalah, otaknya pagi-pagi sudah mau meledak di beri data analytik sebanyak itu. “Mau beli kopi juga?” tanyanya. 

Sisca menggeleng. “Tidak, takut sakit,” balasnya sambil mengusap perut. “Cuma mau beli itu.” Tangan Sisca menunjuk ke rak rokok, “Mild sebungkus,” perintahnya ke kasir. Kemudian menggelengkan kepalanya ke arah parkiran. “Masih pagi nih, nongkrong dulu yuk?” 

Ano setuju dan mengikuti Sisca ke parkiran kantor yang sejauh mata memandang hampir kosong, hanya terdapat beberapa mobil yang bannya kempis karena, sudah terparkir sejak masa pembersihan enam tahun lalu.

Sisca menyalakan rokoknya dan mengepulkan asap ke atas. “Kamu sendiri semenjak kapan?”

Ano sedikit kaget karena Sisca mampu mengenali keadaannya. “Gelombang dua,” jawabnya.

“Sama aku juga,” kata Sisca kemudian menunjuk salah satu mobil jadul berwarna hitam, “itu mobilku, dulu harus datang pagi untuk dapat parkiran di dalam kantor dan sekarang datang pagi pun tak berarti.”

Ano memperhatikan Suzuki Katana yang sudah nampak karatan, di sebelahnya terdapat mobil-mobil lain yang masih nampak terawat. “Bagaimana dengan mobil-mobil di sampingnya?”

“Picanto punya teman seangkatan, namanya Kimmy. Awal masuk kita sama-sama jadi wartawan, cuma aku redaksi international sementara dia nasional,” jawab Sisca lalu menghisap rokoknya dalam-dalam, “dia dan keluarganya habis, pas gelombang dua.” Ia diam sejenak sebelum melanjutkan, “Fortuner sebelahnya punya anak account executive, cowok lima tahun di bawah. Namanya, kalau tidak salah Bima atau Bambang, dulu pernah urusan beberapa kali buat content marketing BUMN. Semenjak gelombang dua tidak pernah lihat lagi dan sisanya aku sama sekali tidak ingat, saking chaosnya waktu itu.” 

“Apa Mbak Sisca liputan waktu gelombang ke dua?” tanya Ano.

Mata Sisca melirik Ano dengan tajam. “Selesai PSBB semua orang balik ke kantor dan sepanjang jalan yakin ada yang salah. Soalnya tak lihat satupun PNS di jalan bahkan, polisi sepanjang bunderan HI saja tak nampak,” Jelasnya lalu menghisap kembali rokoknya, menghembuskan perlahan asap. “Dasar pemerintah sialan,” geramnya dan meludah. “Mereka tahu tapi, informasinya tidak disebar. Jadi Mbak ke kantor dan selang beberapa jam, satu persatu kolaps.”

Memori yang sudah lama mengendap muncul ke permukaan namun, cepat-cepat Ano menepisnya. Ia merasa heran dengan bagaimana Sisca bisa bertahan saat gelombang kedua menerpa, padahal berada di luar. “Jadi Mbak imun?” tanyanya. 

Sisca melirik sambil mengedipkan mata. “Kamu juga kan? Dan pasti salah satu anak-anak yang diangkut setelah hari ketiga bukan?”  

“Tidak! Aku hanya segelintir manusia yang beruntung,” jawab Ano sambil memandang cup kopinya. ”Waktu itu aku 16 tahun sendirian di rumah karena, tidak tahu harus bagaimana?” tak peduli sekuat apapun Ano memendam ingatan itu, tetap saja muncul ke permukaan sehingga mencoba mengalihkan perhatian Sisca dari masa lalunya. ““Bagaimana perusahaan ini setelah itu?”   

“Sama seperti perusahaan lain, mati suri!” jawab Sisca kemudian membuang puntung rokoknya dan menyalakan yang kedua. “Hampir tiga bulan Mbak leha-leha sebelum, orang-orang yang tersisa mengambil alih dan rekontruksi dari pegawai ke semi-automatic. Dari 100% karyawan yang kembali setelah gelombang kedua cuma 20% dan tebak siapa yang diangkat jadi head redaksi.” Ia menunjuk dirinya sendiri. “Divisimu salah satu yang orang-orangnya tak kembali dan dibiarkan kosong sebelum dua tahun lalu datang Pak Divo.”

Lihat selengkapnya