Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #6

Bab 6

Makan siang tadi tidak hanya memberi tenaga tambahan namun, juga inspirasi bagi Ano untuk menuntaskan pekerjaan yang sedari pagi tak kunjung ditemukan jalan keluarnya. Dia mensortir semua data dengan pivot sampai hal terkecil, kapan campaign dilakukan, siapa KOL, berapa traffic yang dihasilkan, perhitungan hashtag, impression serta reach dan hal terakhir yang harus Ano lakukan adalah, menarik benang merah, dalam case ini mulai dari tujuan campaign itu sendiri.

Selang satu jam, Ano menatap dengan bangga sheet laporan campaign, mengaturnya agar mudah dimengerti dari engagement tertinggi sampai terendah. Mengetik email dengan subject ‘laporan all campaign’ tidak lupa mengisi body email dengan penjelasan singkat lalu attach file laporan excel dan menekan sent. Tidak lupa ia mail chat Pak Divo, mengabarkan bahwa semua data berhasil diolahnya. 

Tidak butuh waktu lama sampai Pak Divo membalas mail chat, hanya sebuah emoticon jempol. Ano pun langsung memperhatikan dengan seksama bayang-bayang siluet Pak Divo, sulit menebak apakah ia mengerti report itu. Sepintas Pak Divo duduk di mejanya menatap laptop, tanganya meregang ke atas, pertanda jenuh padahal baru sepuluh menit semenjak Ano mengirimkan email. 

Sampai jam lima sore tidak ada tanda-tanda, Pak Divo akan mengajak Ano berdikusi, siluetnya masih juga duduk menatap laptop. Beberapa anak perawatan jaringan di lantai atas melewati meja untuk pulang dan Ano memberanikan diri untuk mengirim mail chat. “Sore Pak Divo, saya boleh pulang duluan?”

Responnya cepat namun, singkat. “Hati-hati Ano.” 

Tadinya Ano pikir akan dilarang pulang tepat waktu dan diminta untuk membicarakan data yang siang tadi dikirimnya tapi, ternyata tidak. Serta merta ia merapikan meja dan saat hendak mengetuk pintu ruangan Pak Divo untuk pamit, Ano teringat perkataan Sisca. Ia pun langsung mengurungkan niat dan pergi menuju pintu lift. Pintu lift terbuka di setiap lantai dan hanya bagian redaksi yang terlihat masih sibuk. Lobby gedung ini terasa dua kali lebih luas saat jam pulang karena, terihat kosong sekali bahkan resepsionis pun sudah tak ada. 

“Sudirman, akhirnya aku jadi wargamu,” gumam Ano sambil berjalan di trotoar, melihat orang-orang hendak pulang. Ini adalah pemandangan dengan manusia terbanyak yang ia pernah lihat semenjak kuliah. Namun, dalam sekejap saat magrib menjelang, semua kembali hening, jalanan sudah sepi dari manusia. Saat Ano berjalan di depan terdapat sebuah pangkalan ojeg online. 

“Ojeg De?” 

Ano memperhatikan wanita paruh baya itu. “Tidak, makasih Bu.” 

“Baru kerja De?” balasnya.

Ano mengangguk dan tentu saja dia tahu, memang ada berapa orang di kawasan Sudirman ini? ”iya Bu, saya cuma ke statiun aja,” ujarnya dengan niat memberi tahu kalau ia tidak butuh ojeg.”

Sambil tersenyum wanita itu membalas. “Kapan yah terakhir saya lihat ada karyawan sini anak angker1.”

Tiba-tiba Ano diam sejenak lalu melihat jam di handphone, ternyata masih pukul 18:25 “Memang sudah berapa lama mangkal di sini Bu?” tanyanya, bukan tanpa sebab kenapa Ano bertanya lebih lanjut karena, untuk apa juga pulang ke rusun yang kosong.

“Abis gelombang kedua aja Dek, sudah bingung mau ngapain lagi? Di rumah juga sudah tidak ada siapa-siapa,” jelas perempuan ojeg online dengan enteng lalu mengambil napas panjang. “Jadi ngojeg saja biar bisa ketemu orang.” Sudut bibirnya nampak menyuguhkan senyum kecil.

Ano sadar ini akan jadi sebuah perbincangan panjang, hingga bersandar di tiang pangkalan ojeg. “Memang masih banyak orang yang pesan ojeg online?”

“Lumayan, biasanya sih buat shopping barang saja kalau antar penumpang memang jarang banget, lebih seringnya muter-muter di jalanan kosong saja,” balasnya.   

Lihat selengkapnya