Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #7

Bab 7

“Google music stop,” kata Ano saat Transjakarta tiba. Ia mengambil tempat duduk sebelah kiri dan mengamati seorang perempuan paruh baya sedang melamun. Perempuan itu melihat gedung-gedung di luar dan tatapannya kosong, tak nampak ekspresi apapun hanya diam dan mengamati. Ano sering sekali melihat perempuan-peremuan dengan keadaan seperti itu, saat pertama kali pemerintah melonggarkan lockdown setelah gelombang kedua. Mereka ada dimana-mana hanya duduk dan menatap keadaan sekitar bahkan, salah seorang dosennya kerap melamun di kelas. Pemberhentian Ano sudah tiba ketika sudah turun, ia memperhatikan perempuan tadi matanya tidak pernah sekalipun berkedip, seolah takut untuk melewatkan sesuatu. 

Tumpukan koran dari tahun 2021 masih rapi tersimpan di bawah dekat tangga menuju statiun Sudirman. Sudah berwarna kuning namun, masih terbaca dengan jelas headline PEMERINTAH TEGASKAN MASYARAKAT TIDAK PERLU TAKUT DENGAN PANDEMI TERBARU. Di sekitarnya masih tergeletak berceceran barang pedagang asongan, permen dan masker bertebaran, banyak orang menengah ke bawah yang kurang beruntung saat gelombang kedua menerpa. Sisa-sisa perjuangan hidup mereka kerap bertebaran di pojok-pojok kota, sementara pemerintah hanya membersihkan tempat-tempat umum utama saja. 

Statiun kosong seperti hari-hari sebelumnya, Ano tidak melihat satupun orang di sini. Sampai seorang perempuan pegawai KAI keluar dari ruang monitor dan mengamatinya dengan seksama. Lalu memberitahu seseorang lewat walkie talkie. Tidak lama beberapa lampu menyala dan membuat statiun Sudirman terang benderang, mungkin dia berpikir sudah tidak ada orang lagi yang pulang sehingga mematikan beberapa lampu utama. 

“Malam Mbak,” sahut seorang pegawai Indomaret, ia lalu menawarkan sesuatu. ”Silahkan ambil.”

Ano melihat box berisi roti yang ditawarkan. “Ada yang pisang keju?”

“Sebentar,” balas pegawai itu dan mengaduk sampai ke dalam box, mengambil beberapa roti pisang keju. “Ini Mbak.”

Ano mengambil empat buah, lumayan untuk besok sarapan pikirnya. “Terima kasih.” Dan ia pun turun ke bawah statiun sementara pegawai Indomaret itu melihat ke luar, berharap ada orang lagi yang bisa diberi. Roti-roti ini salah satu dari banyak makanan yang biasanya dibagikan gratis dari pada kadaluarsa, setelah gelombang kedua banyak minimarket dan restauran yang secara cuma-cuma membagikan sisa stok mereka pada siapapun yang lewat. 

Duduk di peron sambil menatap jauh ke ujung jalur 6 belum ada tanda-tanda kereta Depok datang. Ano membuka satu roti keju bukan karena lapar tapi, lebih baik mengunyah dari pada bengong. Ia mengamati tanggal kadaluarsa yang tinggal besok, “sial untung tadi tidak ambil banyak,” gumamnya. 

Saat roti ketiga Ano hampir habis, kereta Depok datang. Semua gerbong kosong, hanya seorang perempuan berjilbab nampak mengepel. Terkadang Ano bingung kenapa masih ada saja orang yang mau melakukan hal seperti itu, memang berapa banyak orang yang naik kereta ini sampai bisa kotor? Ada banyak orang seperti petugas kebersihan ini, masih saja melakukan pekerjaan sekalipun sia-sia. Ia teringat tukang parkir di kampus dulu yang setiap hari membersihkan setiap motor dan mobil di parkiran lalu ada Bu Esther dosen antropologi yang semua mahasiswa tersapu gelombang dua, dosen itu tetap datang untuk mengajar pada bangku-bangku kosong. Begitu juga kereta ini yang berhenti di setiap statiun tanpa ada satu pun orang yang naik. 

***

Statiun Depok Baru masih sama, seperti saat Ano berangkat kerja namun, kali ini si Kucing nampak duduk santai. “Kemana saja kamu?” tanya Ano mengharapkan balasan dan si Kucing hanya menatap dengan mata sinis kemudian mengeong pelan. “Apa sibuk cari makan? Kalau begitu sama dengan aku,” kata Ano kemudian duduk di samping kucing itu. “Memang kamu biasanya cari makan di mana?” pertanyaan yang membuat si kucing menoleh ke arah jalan besar, Ano menganggap itu sebuah jawaban. “Wah bahaya banget bisa kelindas mobil kamu.” 

Ano menatap dalam-dalam kucing yang semenjak mencari kerja terlihat di statiun Depok Baru ini, dia tidak kurus ataupun gemuk, bulu oranyenya sedikit dekil seperti layaknya kucing jalanan. Kucing itu membiarkan Ano mengelusnya dan menikmati sekali setiap belaian, terlihat jelas sudah lama tidak merasakan sentuhan manusia. Ano pun mengangkatnya,”kau pulang bersamaku,” katanya dan menggendong kucing oren itu ke luar statiun.

***

Kucing itu nampak kebingungan saat masuk kamar rusun, ia berjalan pelan dengan kepala menunduk ke lantai seperti membaui sebelum akhirnya berbalik mengeong pada Ano lalu merebahkan diri di bawah jendela. Ano mengikuti si Kucing dengan merebahkan tubuh di sofa, menatap langit-langit dan mulai over thingking. Minah, petugas kebersihan dan petugas KAI serta orang-orang di kantor tidak lupa si kucing. Hari ini dirinya bertemu dengan banyak orang dan itu kemajuan dalam hidup Ano setelah tujuh bulan mencari kerja dan terputus dari teman-teman kampus. Dia segera merogoh handphone dan melihat status teman-teman, dulu benci sekali dan menghindari melihat status mereka karena hanya akan membuatnya insecure. Sekarang melihat status mereka bak pelipur sepi, sebuah hiburan personal di dalam unit rusun ini. Jauh lebih baik dari drama korea dan serial TV online sebab, mereka nyata dan Ano bisa menjadi bagian dengan reply untuk sekadar berbasa-basi. Tapi malam ini, ia cuma ingin menikmati hidup mereka, semua terlihat bahagia dan tidak kesepian, semua foto mereka selalu bersama orang lain dan saat status terakhir telah Ano lihat, kesunyian dalam kamar rusun ini kembali menyelimuti. 

Lihat selengkapnya