Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #8

Bab 8

Ano datang terlalu pagi namun, sudah mempersiapkan semuanya. Make up simple dan memukau hasil Googling semalam serta baju yang dibubuhi parfum termahal yang mampu dibelinya di minimarket. Tidak lupa mencoba menghapal dengan sistematis beberapa solusi mengenai campaign, seraya berdoa supaya tidak gagap saat berada di depan Pak Divo. Semenjak sampai ke kantor entah sudah berapa kali dirinya melihat jam. Beberapa orang yang bekerja di lantai atas sudah datang, semenjak orientasi Ano hanya bisa mengingat orang-orang yang berada di lantai bawah divisinya sementara yang di atas ingatanya kabur, sekalipun seorang cowok Ano hanya ingat wajah saja. Seperti yang keluar dari lift sekarang ini dan melintasi mejanya, cowok dari divisi jaringan lunak, namanya antara Ansel atau Andy pokoknya dimulai dari huruf A beberapa perempuan dari divisinya mengikuti dari belakang, mereka sengaja berjalan di belakang sambil membicarakan cowok itu. Ano paling tidak mengerti perempuan dari divisi ini sebab, mereka semua memiliki dress code yang sama. Perempuan-perempuan itu berpakaian seperti lelaki tapi, bertingkah sangat feminim.

Seberapa banyak pun orang yang lalu-lalang di lantai ini, tak ada satupun yang mengindahkan keberadaan Ano. Perhatian mereka semua tertuju pada satu ruangan kaca milik Pak Divo, mereka akan mencoba untuk mencuri pemandangan di dalam ruangan setiap kali lewat lantai ini. Bagi Ano perempuan-perempuan itu adalah hiburan tersendiri sebab, ia tidak memiliki rekan kerja atau semeja yang bisa diajak ngobrol. Ketika pintu lift terbuka untuk kesekian kalinya, Pak Divo keluar dengan celana grey dan kemeja slimfit. Jaket kulitnya disandarkan di bahu kanan dan tangan kiri memegang helm, berjalan mantap memasuki ruangan kaca. Sementara pintu lift tidak juga tertutup sebab, ditahan oleh perempuan-perempuan di dalamnya yang sibuk mengagumi head of digital marketing itu. Ano langsung siaga dan menaruh smarTab di layar laptopnya, menanti mail chat yang mempersilahkan dirinya masuk ruangan. Selang, sepuluh menit, mail chat itu nampak di smarTab.

“Pagi Pak,” sahut Ano saat memasuki ruangan dengan membawa laptop sementara Pak Divo mempersilahkan dirinya untuk duduk. 

“Sesuai dengan pembicaraan kita tadi malam, bagaimana caranya kita bisa build real engagement tanpa harus spent banyak?” tanya Pak Divo.

Ano sudah mempersiapkan ini dari malam tapi, tetap saja saat melihat langsung rahang tegas dipadu dengan potongan rambut undercut itu sulit baginya untuk tidak terpesona. Seolah berada di depan sebuah fashion store yang menjual Greca One-Shoulder Mini Dress dengan 80% sale. Benar-benar menggoda namun, tak akan pernah bisa dimiliki. Ano memusatkan perhatiannya pada report di laptop dan berusaha meredam kekaguman pada bosnya. “Kita tidak perlu berusaha teralu keras Pak, seperti yang saya bilang sebelumnya campaignnya sudah benar tapi, eksekusinya salah. Yang perlu kita lakukan adalah rework semua campaign.”

Kerutan di dahi Pak Divi nampak, ia berpikir keras anjuran Ano. “Tapi, apa kata audiences disuguhkan campaign yang sama?”

Audiences tidak akan ingat kalau ini adalah campaign daur ulang dan kalau pun mereka ingat, tidak akan ada masalah sebab, saat campaign ini pertama kali dilempar dengan bot dan algoritma otomatis. Tidak pernah ada engagement yang terjadi pada mereka semua, dengan kata lain audiences tahu tapi, tidak peduli ini seperti the power of love Celine dion,” jelas Ano.

“Siapa?” bingung Pak Divo.

“Celine dion?” balas Ano dengan heran saat Pak Divo tidak mengenali salah satu diva yang masih tersisa di dunia. “It’s all coming back to me now atau my heart will go on?” namun tetap saja Pak Divo tidak mengenali siapa Celine dion. “Baiklah, maksud saya ini akan seperti cover song. Orang-orang sudah pernah mendengarkan versi aslinya tapi, biasa saja namun, saat di cover dengan arasemen yang berbeda justru malah menjadi hits.”

Cover song,” ulang Pak Divo. 

Cover campaign lebih tepatnya,” tegas Ano.

I like that! Kita tidak perlu membuat campaign baru yang pasti less effort dan less budget lalu bagaimana kita akan mencover campaign ini?” kedua tangan Pak Divo menopang dagunya, ia memperlihatkan raut serius.

Tatapan serius itu hampir saja meluluhlantakkan Ano, secepat kilat ia mengalihkan pandangan ke laptop dan berpura-pura untuk mencari file. Padahal yang Ano butuhkan adalah waktu untuk menata kembali konsentrasinya yang buyar saat diberi tatapan serius Pak Divo. “Yang pertama kita pilih campaign yang sudah lalu dan remade mulai dari communication channel, content seeding sampai promotion tools.”

Pak Divo membuka tiga kancing kemeja, menggigit bibir bawah dan melempar pandangan ke jendela di samping. Ia menatap lusinan gedung bertingkat di luar sana, lalu kembali menatap Ano. “Dari semua campaign di report mana yang kamu pilih untuk kita cover?”

Akhirnya pertahanan Ano runtuh, ia tidak mampu memproses kata-kata Pak Divo. Matanya tertuju pada seluruh tubuh Pak Divo, ia bisa melihat bibir tipis Pak Divo bergerak tapi, tidak ada satupun kata-kata yang bisa didengarnya. Tubuh dan wajah itu membuyarkan konsentrasi Ano membuat hormonnya memuncak dan ia tenggelam dalam deburan estrogen.

***

“Kamu tidak apa-apa?” tanya Tanti sambil menyodorkan semacam minyak kayu putih ke hidung Ano.

“Dimana ini?” balas Ano yang segera bangkit dan kebingungan saat melihat dirinya sudah berada di ruangan lain. “Apa yang terjadi?”

Tanti memberikan selamat. “Well congratulation! Kamu adalah karyawati pertama yang mampu bertahan selama ini dari Divo effect!” jelasnya sambil bertepuk tangan.

Lihat selengkapnya