Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #13

Bab 13

Sama seperti gedung-gedung lainnya, Thamrin Nine terlihat sepi tak ada satupun orang. Basement parkiran dipenuhi oleh kendaraan berdebu yang tidak pernah lagi digunakan oleh para pemiliknya. 

Ano memperhatikan mobil-mobil mewah terbengkalai tersebut. “Aku selalu mengira orang-orang kaya lolos dari gelombang ke dua.” 

“Tidak Ano, semua orang terkena dampaknya karena, mereka tidak tahu akan ada gelombang ke dua,” balas Pak Divo sambil mengaitkan helmnya kemudian mengajak Ano menuju lift. Ada 44 tombol dan Pak Divo memencet tombol 40. “Kamu pasti suka viewnya.”

Ano memperhatikan bagaimana lampu-lampu di panel lift tersebut bergerak dari lantai 1 menuju 40, silih berganti dengan kecepatan seperti mengedipkan mata. Berada di lift dengan Pak Divo tidaklah pernah terbesit dalam pikirannya, ia beku dengan sesekali mencuri pandang pada Pak Divo. Lampu panel lift berganti lantai dengan cepat tapi, bagi Ano semua terasa amat sangat lamban dan ini membuat amat sangat tidak nyaman. “Kalau boleh tahu kenapa pilih fine dining di sini Pak?”

“Aku selalu makan di sini, kamu harus coba duck salad dan tuna feulitte. They are the best.”

Ano hanya bisa mengangguk karena ia tidak pernah mendengar kedua makanan tersebut, sehingga tidak tahu harus membalas apa. 

Saat lift terbuka dirinya di sambut oleh seorang pelayan yang langsung mengenali Pak Divo. “Di sini,” kata si Pelayanan sambil menarik kursi untuk Ano. “Menu seperti biasa?” tanyanya pada Pak Divo dan dibalas dengan anggukan. “Baiklah, segera disiapkan.” 

“Wow,” kagum Ano melihat pemandangan Jakarta dari lantai 40 Thamrin Nine.

“Sudah kuduga kau akan suka dengan pemandangannya, tunggu sekitar 20 menit lagi dan kamu bisa lihat dengan jelas semua bintang di langit,” jelas Pak Divo.

Semua gedung-gedung di kawasan Sudirman dan Bundaran HI terlihat begitu menakjubkan, lampu-lampu mereka dari atas terlihat seperti sebuah sungai yang mengalirkan cahaya kelap-kelip. “Pasti menakjubkan bisa lihat ini setiap hari,” tukas Ano.

“Lama-lama juga pasti membosankan.”

“Pak Divo setiap hari datang ke sini?”

Pak Divo menggaruk pipinya. “Sebenarnya aku tinggal di sini. Lebih tepatnya di suite.” Menunjuk ke atas.

Kedua mata Ano terbelaklak. “Pak Divo tinggal di Thamrin Nine!” kemudian berusaha tenang karena, teringat bahwa amat sangat wajar jika pewaris Perdana Group tinggal di suite tertinggi se-Jakarta. “Memangnya kita mau ketemu client penting dari mana Pak?”

Pak Divo menaikan sebelah alisnya. “Aku mengajakmu makan malam bukan meeting dengan client.”

Detak jantung Ano mengencang. “Kenapa Pak Divo?”

Pak Divo mendekat dan mengepalkan kedua tanganya. “Kamu cewek pertama yang aku ajak makan malam dan bertanya kenapa?”

Ano diam sesaat. “Maaf Pak Divo hanya saja, ini hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidup saya semenjak gelombang kedua. Jadi sedikit berjaga-jaga mengapa tiba-tiba semesta berbaik hati.”

“Kamu kehilangan semuanya saat gelombang kedua?”

Ano tersenyum dan mengangguk.

Lihat selengkapnya