Sudah satu jam lebih mata Ano menatap smarTab, lebih tepatnya menatap mail chat. Ia mengirimkan mail chat permintaan maaf pada Divo tadi malam namun, sampai Senin pagi belum juga ada balasan. Perasaan menyesal karena terlalu lama menunggu untuk kirim chat timbul, menggantikan perasaan sepi yang biasa menemani dalam perjalanan menuju kantor. Saat pintu kereta terbuka di statiun Lenteng Agung seorang perempuan tua mengalihkan perhatian Ano. Ini adalah kali pertama setelah sekian bulan ia melihat penumpang lain, sayangnya perempuan itu adalah salah satu dari orang-orang yang kosong. Ano menyadarinya setelah beberapa saat, mata perempuan tua itu lurus ke depan seperti menatap sesuatu. Tatapannya persis sama seperti perempuan di busway beberapa minggu lalu, hidup tak mau matipun segan.
Terbesit dalam benak Ano, bagaimana jika suatu hari dirinya akan berakhir sama seperti perempuan itu? Sepanjang hidup sendiri dan tenggelam dalam lamunan, seperti mayat hidup yang berjalan tak tentu arah. Ia langsung memalingkan wajah, mencoba membuat pikiran positif dengan melihat pemandangan di luar sana. Pemandangan Statiun Universitas Indonesia, mengalihkan pikiran akan nasib buruk itu dengan mengingat masa-masa kuliah, masa di mana dirinya tidak pernah merasa sendiri kecuali saat hari libur kuliah. Kampus memang tak ramai dengan orang namun, ini adalah satu-satunya tempat dimana masih bisa melihat kehidupan.
Kemudian saat kereta transit sebentar di Manggarai, pikiran Ano kembali pada realita. Statiun transit ini selalu berlagak seolah ada ribuan penumpang yang tengah berdesak-desakan untuk masuk kereta. Pengumuman sebentar lagi kereta jurusan ini dan itu tiba, bergaung saling bergantian padahal sama sekali tidak ada orang bahkan, seekor kucing pun tak nampak pagi ini. Seorang bapak-bapak berumur dengan seragam PT KAI nampak, seperti sedang memastikan semua berjalan lancar. Ia berteriak memberi pengumuman bahwa kereta Bekasi akan berangkat, dengan tangan yang berayun mengajak orang-orang tak kasat mata untuk bergegas masuk. Lagi-lagi orang kosong, pikir Ano dan perempuan tua yang tadi naik dari lenteng agung masih duduk menatap lurus ke depan.
“Aku ingin segera tiba di kantor, ketemu orang-orang waras!” pekik Ano.
***
“Kopi satu pakai gula,” pinta Ano pada pegawai Indomart, setelah kopi pesanan jadi ia pun pergi ke parkiran dan mendapati Sisca tengah duduk seorang diri sambil sarapan roti.
“Wah, wah, wah ada the one and only Rosano Rosmayanti,” goda Sisca. “Gimana makan malamnya sama Pak Divo?”
Dalam sekejap panas kopi yang terasa di tangan, seperti langsung menghilang. “Dari mana kamu tahu?”
Sisca langsung melotot. “Aku adalah seorang wartawan dengan akses informasi dimana-mana dan sebenarnya aku sendiri cuma menebak sih karena, informasi gambaran perempuannya tidak begitu jelas.”
Dalam sekejap Ano langsung teringat dua perempuan yang merekam dengan handphone, saat dinner di Thamrin Nine. “Kemarin itu cuma buat ketemu client saja, buat campaign besar tahun ini. Soalnya kita mau pakai beberapa KOL biar ngehype.” Sambil berharap Sisca akan percaya.
Sisca langsung mengangguk. “Pantas, semua informanku sampai bilang yang tidak-tidak."
“Memang mereka bilang apa?”
Sisca menggigit rotinya sambil berkata. “Mostly spekulasi tidak berarti, mulai dari kamu perempuan sewaan sampai playgirl terbaru ibu kota.”
Ano menghela napas lalu menyesap kopinya. “Gosip memang lebih kejam dari hoax.”
Sisca tertawa mendengarnya. “Itulah resiko dekat dengan Divo Putra Perdana.”
Kata resiko mengingatkan Ano pada perasaan takut di kereta tadi. “Kamu tahu tentang orang-orang kosong?”