Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #16

Bab 16

Ano berdiri di depan Centennial Tower dan mengamati sekitar dengan harap-harap cemas padahal tidak ada satupun orang. Suara motor yang dikenalinya terdengar dan ia menoleh ke arah pintu parkiran melihat sebuah Kawasaki GPZ muncul lalu berhenti di depannya.

Divo menurunkan standar lalu turun untuk mengambil helm yang terikat di jok belakang. “Aku tahu restauran fine dining yang pas untuk kencan pertama kita.” Sambil memberikan helm.

Ano menerima helm itu dan tiba-tiba saja, ia teringat perkataan Sisca tadi pagi mengenai gosip dari para pemburu Divo. “Aku punya ide yang lebih baik, bagaimana kalau kita dinner di dekat rumahku saja?”

Divo tersenyum, “apapun yang kamu mau.” Kemudian dahi berkerut, “memangnya tempat yang jauh lebih baik dari restauran fine dining ini dimana?”

“Depok,” jawab Ano dengan mantap. “Kau pasti akan takjub dengan Depok.”

Lagi-lagi Divo tersenyum, ia tidak pernah bertemu dengan seseorang yang amat bangga karena tinggal di Depok. “Apapun yang kau mau,” ulangnya.

Malam itu mereka berdua pergi dari Sudirman menuju Depok. Sebagaimanapun ia tergoda untuk membiarkan tubuhnya bersandar di punggung Divo, Ano tetap bertahan dengan berpegangan pada behel motor. Semua jalanan yang biasa dilihat dari jendela commuter terasa amat berbeda dan ketika melewati Jalan Kapten Tendean. Pemandangan puluhan mobil yang terbengkalai terlihat, Divo harus menurunkan kecepatan dan kerap mensalip kiri-kanan sebab, banyak yang berada di tengah jalan.

Ano berusaha untuk tidak melihat ke dalam mobil-mobil itu, ia tahu ada beberapa yang tidak berhasil dibersihkan. Ada orang-orang yang dengan tenang tetap berada di dalam mobil itu, mereka yang hendak pergi ke sekolah, mereka yang hendak pergi ke kantor dan mereka yang hendak menuju tempat penting dalam hidup, tiba-tiba terdiam dan tak bernyawa.

Ketika motor mereka keluar Jalan Kapten Tendean, sepintas terlihat sebuah minibus dengan dua orang dewasa berada di depan dan seorang anak berada di belakang, terbujur kaku dengan kulit mengkerut menjadi mumi. Seketika Ano memejamkan mata dan membiarkan tubuhnya jatuh pada punggung Divo.

Ada perasaan hangat menjalar pada tubuh Ano yang sulit untuk dijelaskan, membuatnya bertanya-tanya seperti inikah rasanya tubuh seorang cowok? Membuatnya ingin menghabiskan malam ini hanya dengan memeluk tubuh Divo, memeluk tubuh yang menjadi perbincangan semua orang selama ini. 

Divo menghentikan motornya ketika mereka tiba di sebuah perumahan bernama Maharaja. “Jadi kita makan malam dimana?” Perumahan Maharaja merupakan gerbang menuju kota Depok dan Ano sengaja melewati perumahan ini, untuk menghindari jalan besar yang berisi mobil-mobil terbengkalai. Pemerintah hanya melakukan pembersihan di Jakarta saja sementara, untuk daerah-daerah sekitarnya masih banyak yang dibiarkan seperti saat gelombang kedua menerpa.

“Keluar komplek, terus belok kiri masuk Jalan Margonda Raya,“ terang Ano. 

Divo menganggukan kepalanya dan melanjutkan perjalanan, melintasi perumahan Maharaja. Semua lampu rumah menyala namun, Divo tahu tak ada satupun penghuninya, ini sama seperti yang pemerintah lakukan di Sudirman. Sama halnya seperti perumahan ini, pemerintah memaksanya untuk terlihat hidup. Sekalipun halaman rumah-rumah itu jelas tak terurus, teras dipenuhi oleh tumpukan dedaunan. 

Jalan Margonda Raya jauh lebih baik ketimbang jalanan sebelumnya, mobil yang terbengkalai bisa dihitung dengan jari dan berada di samping jalan. Sama sekali tidak terlihat mengerikan karena, lampu-lampu jalanan dan semua bangunan di sekitarnya terang benderang. Divo mengentikan motornya, “Kita turun di sini saja,” katanya.

Lihat selengkapnya