Semenjak malam itu, mereka berdua kerap menghabiskan berjam-jam di dalam ruangan, membicarakan projek campaign tentunya. Tapi, bagi Ano dan Divo pekerjaan adalah salah satu metode mereka dalam berpacaran. Ini juga merupakan cara terbaik agar bisa bersamaan tanpa menimbulkan kecurigaan. Bayangkan apa yang akan terjadi pada Ano saat semua orang tahu, kini dirinya tengah berpacaran dengan seorang Divo Putra Perdana. Ano belum siap menghadapi hal-hal yang berada di luar kendalinya, ia hanya ingin menikmati semua rasa ini, rasa yang berbeda dari kehidupan sebelum Divo masuk. Ia tidak pernah menyesali membiarkan bosnya tersebut memaksa masuk ke dalam kamar rusun karena setelah itu, rasa kesepian yang selama ini menjadi teman pergi entah kemana?
“Jadi kapan aku mulai bisa menghubungi para KOL ini?”
Divo menatap sambil tersenyum. “Bagaimana kalau sekarang? Sekalian makan siang.” Lalu duduk di samping Ano, “Aku punya koneksi untuk langsung ke mereka dan aku mau kamu berbicara langsung.”
“Kau dan aku makan siang bersama?” dengan nada yang terdengar tidak yakin.
Divo pun berbisik, “Ano kamu diajak Pak Divo buat ketemu relasi yang bisa menghubungkan langsung ke KOL.”
“Baiklah Pak Divo, mana mungkin aku menolak.” Sambil mendekatkan bibir. “Kau tahu sulit bagiku untuk bisa menolakmu saat sedekat ini.”
“Aku tidak pernah meminta Ano tapi, akanku lakukan kalau kau mau,” kata Divo.
Mata Ano memperhatikan bibir merah itu, ia menyeka dengan jemarinya lalu menarik dan menciumnya. “Kenapa kau tidak membalas?”
“Karena kutahu kau akan meminta lebih.” Divo pun mencium balik. Sekarang gilirannya yang menyeka bibir Ano dengan jari. “Kau sungguh berani, aku tahu ini ciuman pertamamu.”
“Sebegitu buruknyakah aku, sampai kaupun tahu kalau aku tidak pernah mencium orang lain sebelum ini?”
Divo kembali mengarahkan kepala Ano padanya. “Bukan buruk Ano tapi, kau menciumku penuh dengan keragu-raguan dan itu seharusnya tidak perlu.” Divo kembali mencium Ano, kali ini lamban dan mantap. “Aku sudah siapkan mobil di bawah, kita ketemu di Green Office Park.”
“Siap Pak Divo,” kata Ano dengan setengah dirinya melayang di udara.
***
“Aku tidak pernah tahu Green Office Park seperti ini?” kagum Ano saat melihat taman dalam gedung.
“Semenjak gelombang kedua memang tidak terbuka untuk umum, ini safe heaven untuk semua lelaki di Jakarta.” Menunjuk ke beberapa sudut dimana terdapat lelaki. “Kita butuh tempat aman untuk berkumpul.”
Ano langsung memegang tangan Divo. “Tunggu! Maksudnya cewek tidak boleh masuk?”
“Hanya mereka yang punya akses dengan kata lain upper class.” Memberi tanda dengan gerakan kepala pada Divo untuk melihat ke kanan dimana terdapat dua orang perempuan sedang duduk sambil menikmati pemandangan.