“Apa yang kamu lihat sebelum menutup mata setiap hari?”
Divo mengambil napas panjang, membuat kepala Ano yang bersandar di dadanya naik turun. “Banyak hal, seperti bintang malam, gedung-gedung yang berkilauan walaupun tidak ada penghuninya, kelap-kelip lampu pesawat.“
“Aku biasanya melihat ke luar jendela dan berkhayal mengenai orang-orang tak ada lalu, menatap langit-langit yang mengerikan ini,” kata Ano sambil menatap ke atas. “Aku hapal setiap retakannya bahkan, setiap cicak yang lewat pun selalu sama lalu, aku melihatnya sembari berbaring denganmu dan semua retakan serta cicak adalah sesuatu yang baru dan menarik. Apakah kamu merasakan hal yang sama saat berbaring di sini denganku?”
“Semua ini termasuk Depok adalah hal yang baru untukku.” Dengan tangan ke atas seolah hendak menyentuh langit-langit. “Dan kau membuatku bahagia.”
“Benarkah?” sergah Ano kemudian bangun dan mencubit hidung Divo. “Aku membuatmu bahagia ketimbang cewek-cewek lain? Dan sejujurnya aku pun penasaran dengan mereka.”
Sebelah alis Divo terangkat. “Apa yang mau kamu tahu dari mereka?”
“Entahlah seperti mantan-mantanmu yang pastinya tidak terhingga.” Kedua mata Ano pun berputar saat mengatakan itu.
“Aku tahu apa yang kau pikirkan dan memang itu benar, aku terlibat dengan banyak cewek se-Jakarta,” ujarnya dengan santai. “Tapi, tidak pernah sekalipun aku menjadikan mereka pacar! Dan harus kau ketahui sulit berada di posisiku, semua datang mendekat bahkan banyak yang dalam keadaan desperate. Entah sudah berapa juta kali aku menolak dan melihat kekecewaan di wajah mereka. Jadi aku putuskan untuk tidak mudah didekati, dari pada berkali-kali melihat wajah penuh kekecewaan.”
Ano kembali merebahkan kepalanya di dada Divo. “Lalu apa yang membuatmu menolak semua cewek-cewek itu? Jelas kau bisa mendapatkan semuanya dengan mudah.”
Divo tertawa lepas. “Apakah kau ingat rasanya hidup sebelum gelombang kedua? Tidak peduli seberapa tampannya diriku, selalu ada yang jadi pertimbangan untuk cewek-cewek tapi, sesudah gelombang kedua. Mereka tidak peduli apapun, datang tanpa mengharapkan apapun seperti daun yang terombang-ambing tertiup angin. Saat sesuatu yang sulit didapatkan menjadi amat sangat mudah, saat itu pula tak ada harganya.” Diam sesaat kemudian melanjutkan. “Kau datang tak seperti yang lain, tidak dengan sebegitu mudahnya memberikan dirimu dan saat aku memutuskan untuk ikut futsal lalu, melihatmu di rooftop. Aku berpikir bagaimana cewek dengan make up sederhana ini, bisa sangat terlihat di antara yang lain? Kenapa sebegitu tertarik dengannya, ketimbang ribuan dedaunan yang tertiup angin ke arahku? Cantikmu berbeda Ano dan aku suka itu. Kau dan dunia Depokmu membuat aku sangat bahagia.”
Ano pun langsung tersenyum mendengarnya, bagaimana dirinya dengan semua keterbatasan dalam hidupnya mampu membuat cowok yang memiliki semuanya bahagia. Ia tidak mau memejamkan mata, berharap tidak akan pernah terlelap karena itu akan membuat malam ini cepat berlalu. Ano tidak mau lagi merasa seperti beberapa minggu lalu, menatap keluar jendela sembari berharap melihat sesuatu, apapun itu yang mampu membantunya mengalihkan dari rasa sepi.