Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #20

Bab 20

Bau tidak sedap tercium saat mereka tiba di Kali Anyar, bau yang lebih mirip dengan sampah busuk. Seperti ada ratusan makanan yang sudah kadaluarsa dan mengeluarkan bau tak sedap. Kecamatan Tambora terutama daerah kali Anyar, berisikan pemukiman padat penduduk yang terdiri dari ratusan gang. 

Ano memastikan mereka berada di depan gang yang tepat seperti lokasi yang sudah di shared via email. “Ini gangnya rumahnya sekitar lima ratus meter ke dalam.” Matanya melihat gang dengan police line yang nampak sudah lusuh. 

“Pakai ini.” Divo memberikan sarung tangan motor. “Jangan sentuh apapun di dalam sana!” lalu mengangkat police line dan mempersilahkan Ano masuk.  

Ano teringat dengan foto-foto di thread Kaskus tadi, sebuah gang dengan puluhan mayat tergeletak, persis seperti gang ini. Matanya melihat rumah-rumah petak yang menjulang, menghalangi sinar matahari untuk masuk dan membuat gang tersebut temaram. Beberapa kali Ano terpaksa menutup hidungnya karena bau tak sedap yang terkadang amat sangat kuat saat angin berhembus. Ia berpaling ke belakang dan melihat Divo sedang mengawasi sekitar namun, tidak melepaskan helmnya. 

Rumah petak di kanan-kiri gang ini mempunyai jendela yang gelap, sehingga tidak terlihat penghuninya. Beberapa ada yang terbuka pintunya namun, tidak bisa melihat ke dalam karena gelap. Tiba-tiba Divo menahan Ano dengan memegang pundaknya, membuat Ano langsung melirik padanya.

“Diam,” perintah Divo dengan menempelkan telunjuk di bibir dan memperhatikan jalan di depan.

Ano kebingungan dan ikut melihat ke depan, tepatnya ke sebuah warung kecil. Ada seseorang dari dalam warung yang melempar bungkusan kacang ke luar. “Rileks Divo, itu orang.”

Namun Divo tetap menahan Ano, memaksanya untuk diam dan memperhatikan setiap gerakan dari dalam warung tersebut. Tiba-tiba keluar seorang anak kecil atau bisa disebut seperti anak kecil. Ano menyakini kalau yang keluar dari warung dengan tubuh anak kecil kurus kering tapi, kepala luar biasa besar itu adalah seorang bocah. Berjalan dengan lurus tanpa menoleh dan memghilang saat berbelok.

“Divo yang tadi itu apa?”

“Itu yang aku sering dengar dari orang-orang.” Lalu menarik Ano ke belakang. “Berapa jauh lagi rumahnya?” dan Ano langsung menunjukan smarTab padanya. “Baiklah jalan di belakangku tapi, jangan jauh-jauh.”

 Mereka kembali berjalan dengan Ano mengikuti dari belakang, samar-samar lagu dangdut mulai terdengar saat melewati warung. Ini berarti ada kehidupan di gang ini, ada sekelompok orang yang sedang melakukan sesuatu namun, pemandangan tadi melunturkan nyali Ano untuk melihat lebih dekat. 

“Ini rumahnya?” tanya Divo dan Ano langsung mengecek smarTab lalu mengangguk. “Selamat siang,” sambil mengetuk pintu rumah kemudian mencoba melirik ke dalam namun, jendela rumah ini terlalu gelap. “Coba kamu kontak, bilang kalau kita sudah di depan,” perintahnya pada Ano.

Tidak lama setelah Ano mengirimkan email. “Halo kamu pasti Rosano?”

Ano langsung mengadah dan mendapati seorang lelaki tua melambai padanya. “Betul Pak.”

“Kenapa tidak kontak lewat handphone saja sih?” gerutunya.

“Maaf, saya pikir Bapak lebih suka chat di email,” balas Ano.

Lihat selengkapnya