Hari ini, Dokter Winarto melakukan pemotretan sekaligus shooting untuk campaign First News. Ano mengawasi semua yang dilakukan oleh tim produksi, memastikan semua sesuai dengan brief. Sementara itu, Dokter Winarto tidak seperti kelihatannya sebab, ia mudah untuk diarahkan dan tidak merepotkan seperti yang akan Ano kira. Ia pun menyempatkan diri untuk berbincang-bincang dengan Dokter Winarto dan menjelaskan benefit khusus bagi dirinya yakni, sebuah interviews dan beberapa features news di firstnews.com.
Sebelumnya Ano sudah mendatangi Sisca dan mendapatkan persetujuan untuk bisa memblow up Dokter Winarto namun, tidak tanpa konsekuensi. Sisca memperingatkan bahwa, pemerintah bisa saja sewaktu-waktu mentake-down semua konten yang mengandung Dokter Winarto. Namun, bagi Ano itu tidak masalah karena, hanya akan menambah eksposur pada masyarakat luas dan akan menambah engagement di sosial media sebab, pemerintah tidak punya kekuasaan untuk memfilter informasi di sosmed kecuali mereka memblock sosial media tersebut.
Masih ada beberapa KOL lain yang menunggu giliran mereka untuk melakukan shooting dan pemotretan. Proses shooting dan photoshoot memakan waktu seharian, untungnya semua indoor dan menggunakan green screen namun, bagi Ano semua belum selesai karena, ia masih harus supervisi editing sampai malam. Matanya sampai lelah berusaha memastikan setiap konten, tidak ada typo maupun kesalahan kecil lainnya dan ketika sudah jam 22:00 malam. Ano memutuskan untuk saatnya pulang dan pamit pada tim produksi.
“Dimana motormu?” tanya Ano ketika melihat Divo sudah menunggu di seberang gedung tanpa motor.
“Kupikir, kamu pasti capek sekali. Jadi kasihan kalau sampai harus naik motor sampai Depok. Jadi aku bawa si hiu ini.” Menunjuk Mitsubishi Lancer Gallant di belakangnya.
Ano melihat mobil berwarna silver metalik dengan dengan sayap di belakangnya. “Boleh makan dulu? Aku belum sempat makan malam dari tadi.”
Divo mengangguk dan membuka pintu untuk Ano. “Apapun yang kau mau.”
***
Sepanjang jalan mereka berdua melihat kiri-kanan, mencari tempat makan yang masih buka. Namun, pukul 22:00 di zaman silent time ini sudah tidak ada lagi kehidupan. Semua tempat makan sudah tutup sampai Ano menunjuk sebuah restauran dengan boks di depannya.
Ano turun dan mengambil sekotak paket berisikan ayam dan nasi lalu mengaduk-ngaduk lebih dalam mencari sebungkus sambal. Kemudian duduk di kap belakang dan menjadikan sayap belakang mobil sebagai meja.
Divo berdiri sambil sambil tersenyum. “Kau lucu,” katanya.
“Aku sangat lapar.” Sambil merobek sayap ayam, mencocolnya pada sambal dan memakannya. “Shooting sama pemotretan dari siang, terus lanjut supervisi editing sampai lupa makan.”
“Kalau ikut tadi, pasti semua crew perempuan akan terlalu sibuk memperhatikan aku ketimbang sibuk shooting. Makanya, aku lihat dari jauh saja ketimbang mengganggu proses shooting.”
“Dokter Winarto dan semua KOL sudah selesai dan aku mau tunjukan padamu beberapa hasilnya.” Sambil mencari-cari tas yang ternyata berada di dalam mobil.
“Tidak usah!” tegas Divo. “Ini sudah di luar jam kerja, artinya aku bukan bosmu tapi, pacarmu.”
“Baiklah, Pak Divo. Maaf maksudnya Divo sayangku.”
Divo mendekat dan berkata. “Itu jauh lebih baik.”