“Aku suka yang itu.”
Ano menurunkan dummy poster campaign yang diangkatnya. “Kalau begitu ini untuk billboard dan berikut desain dan video untuk konten sosmed.” Membuka beberapa file di smarTab.
Mata Divo memicing mengamati setiap jengkal design konten sosmed dan video yang ditunjukan padanya. “Menurutmu ini akan berimpact di luar sana?”
“Tentu saja sekalipun risky dengan adanya Dokter Winarto.” Menunjuk design konten sosmed dengan foto sang dokter. “Kita sudah menangkap perhatian orang-orang dengan berkat dia.”
“Mengenai resiko ini, apakah Dokter Winarto bisa dikontrol?”
“Untuk campaign ini, dia terikat kontrak dengan peraturan ketat, apapun yang berhubungan dengan campaign #menemani tidak bisa mengutarakan opini yang bersifat personal,” jelas Ano dengan tenang kemudian menaruh smarTabnya dan memberikan raut yang sedikit mengkhawatirkan. “Namun, untuk benefit yang ia terima berupa interviews, talkshow dan features artikel, itu berada di luar kontrak dan dibawah kendali meja redaksi. Kita tidak bisa memasukan itu ke dalam kontrak, ingat apa yang kita tawarkan di Kali Anyar agar dia mau menjadi KOL.”
Divo nampak berpikir kemudian. “Kalau dia menciptakan polemik dan berbagai konten yang mengandung dirinya di take down, ini akan menjadi eksposur besar untuk kita, terlebih bagian redaksi yang akan meng-up berbagai berita mengenai dirinya.”
“Tepat sekali Pak Divo,” kata Ano dengan bangga. “Dia KOL kunci kita, saat semua konten yang mengandung dirinya di take down kita tinggal keluarkan konten lain dengan KOL yang berbeda namun, pesan yang sama. Lagi pula pemerintah tidak bisa mengontrol sosial media sepenuhnya, pada saat mereka menyuruh kita mentake down, campaign ini sudah tersebar luas.”
Lagi-lagi mata Divo memicing namun, kali ini tepat pada Ano. “Tak-tik ini punya satu kekurangan yang fatal.”
“Apa itu?”
“Dokter Winarto itu sendiri,” ucap Divo tegas. “Terus terang kita justru berharap dia akan membuat polemik bukan? Tapi, bagaimana jika polemik ciptaanya adalah sebuah hipotesa tak terbukti? Bukankah kredibilitas kita sebagai sumber berita terpercaya akan jatuh? Yang seharusnya diingat orang-orang adalah sumber berita yang bisa dipercaya sehingga menjadi teman dan #menemani di zaman silent time ini malah menjadi sumber hoax yang harus dijauhi.”
Seketika semua planning yang sudah dikatakan selama berbulan-bulan terasa sia-sia. Ano tidak berpikir jauh sampai ke situ, ia tidak mempunyai back up plan andai kata hal yang diutarakan Pak Divo terjadi. Otaknya langsung menuju mata kuliah semester enam, krisis manajemen dan opini publik. “ Yang pertama harus kita lakukan adalah bekerjasama dengan bagian redaksi, upayakan mereka untuk menekankan orang-orang bahwa, apapun yang diutarakan oleh Dokter Winarto adalah sebuah hipotesa bukan fakta! Dan kedua akan saya pastikan mempersiapkan konten untuk mengcounter, konten yang berasal dari para ahli dan berdasarkan fakta sehingga orang-orang tidak mencari dan mendapatkan dari media kompetitor. Kita ciptakan produknya sekaligus pasarnya.”
Divo memukul mejanya dan menunjuk Ano. “Kau jenius Ano dan itu sebabnya, kenapa aku bisa suka padamu.”
Ano mengingatkan. “Kita dikantor Pak Divo.”
“Di dalam ruanganku yang tidak semua orang bisa masuk,” balas Divo lalu menambahkan. “Mulai besok kau bisa menaikan semua materi campaign.”
“Terima kasih Pak,” kata Ano dengan gembira.
“Jadi apakah kita bisa merayakan ini dengan makan malam?”
Ano langsung mengangguk.
“Kali ini kita dinner di tempatku dan aku yakin kamu sudah tidak ragu denganku.”
Ano langsung terdiam sebab, ia teringat saat melarikan diri dari Thamrin Nine. “Tentu tidak Divo, aku tunggu di bawah selepas pulang.” Lalu merapikan berkas dan smarTab. “Kalau begitu saya pamit dulu Pak Divo, mau ke bagian activation untuk placement semua materi campaign.”
***
Terakhir Ano melihat pintu itu beberapa bulan lalu, saat Divo berdiri dan membuka kancing kemejanya satu demi satu. Ia melihat ke belakang dan di ujung lorong, pintu lift menutup sementara Divo membuka pintu. Suite Thamrin Nine terlihat menakjubkan, ruang tamunya saja sebesar kamar rusun, dibalut interior berwarna putih. Tidak ada kipas menempel di langit-langit, tidak ada retak bahkan, tidak ada secuil debu menempel pada ruang tamu ini.
“Kalau aku tahu tempatmu seperti ini, tidak akan pernah aku membiarkanmu tidur di rusun.”
Divo berbalik. “Kau yang melarikan diri dari sini.” Lalu menuju kitchen bar dan mengambil champagne.
“Saat itu, aku tidak yakin dengan apa yang terjadi,”kata Ano dengan malu. “Kau, makan malam dan berakhir di sini adalah sebuah kombinasi yang terlalu mengejutkan untukku.”
Divo memberikan gelas champagne dan mengajak Ano ke ruang tengah. “Untuk PR-ku yang jenius.” Sambil mengangkat gelas dan menyesapnya sedikit. Divo lalu mengambil sebuah remote di meja dan menekan salah satu tombolnya.
Tirai yang menutup Jendela-jendela besar yang mengelilingi ruangan terbuka dan Ano bisa melihat langit malam berbintang dengan jelas. “Ini begitu indah dan kau memilih untuk bersamaku di rusun sempit dan gelap.”
“Rusun itu punya satu hal yang mampu menandingi ini semua,” kata Divo sambil mengusap pipi Ano. “Memiliki semua ini tanpa bisa berbagi dengan seseorang adalah hal yang menyedihkan.”
“Bagaimana dengan keluargamu?”
“Mereka bahagia dan aman di luar negeri tapi, setiap tahun kita selalu berkumpul di Jakarta.” Lalu meneguk campaignnya sampai habis.
“Mengapa kamu mengatakan itu seolah-olah adalah hal buruk?”
“Karena aku tidak bisa lari dari mereka.” Divo menatap dasar gelasnya yang kosong. “Hal yang paling aku inginkan adalah bebas dari mereka.”