Mata Ano tidak berkedip sama sekali melihat hasil analitik campaign #menemani, konten Dokter Winarto berhasil menarik perhatian orang banyak dan sekarang semua mata yang tersisa di Indonesia tertuju pada First News. Hasil data impression dan reach tergolong menakjubkan namun, bukan itu yang Ano cari melainkan real engagement, ia menggunakan social listener mencoba menguping pembicaraan apa yang timbul akibat campaign ini.
Satu demi satu keyword bermunculan dalam analytic tool dan hampir semuanya merupakan kata kunci yang berhubungan dengan gelombang kedua. Belum mencapai awareness namun, ini cukup untuk menarik perhatian tinggal mengeluarkan konten-konten selanjutnya dari KOL yang lain. Saat tengah sibuk menatap layar smarTab tiba-tiba sebuah video call masuk, Ano menatap nama yang keluar di handphonenya. Ia lupa bahwa sudah berjanji akan menjawab semua pertanyaan sahabatnya.
Belum sempat mengeluarkan sepatah katapun, Devi sudah melontarkan berbagai pertanyaan dengan cepat, sampai-sampai Ano bingung menjawab mulai dari mana? Dengan sigap Ano mengacungkan telunjuknya agar Devi segera diam. "Jadi kamu mau tanya apa dulu? Satu-satu Dev."
"Ceritakan secara detail! Awal mula kenapa Divo bisa sampai suka sama kamu? Aku mau alasan dibalik kesuksesan seorang Rosano Rosmayanti menggaet cowok paling cakep se-jakarta."
Ano mengambil napas panjang lalu bercerita dengan pelan agar Devi mampu menangkap semua yang telah terjadi antara dia dan Divo.
“Rosano! Itu logis banget kenapa kamu sampai bisa terlihat wah oleh Divo,” suara lantang Devi terdengar sember dari speaker handphone. “Kamu tuh jenius banget pake reverse psychology! Ketika semua cewek dandan mati-matian, kamu malah tampil sederhana dan ketika semua cewek terang-terangan langsung suka, kamu malah adem ayem,” jelas Devi dengan mimik tak percaya,
“Reverse psychology?” ulang Ano. “Tapi, aku bukan manipulator.”
“Secara tidak sadar, kamu berhasil memanipulasi Divo untuk mendekati hingga akhirnya ia memutuskan bahwa Rosano Rosmayanti pantas untuk dikencani bahkan sampai dijadikan pacar.”
Ano memperhatikan Devi di layar handphonenya, kata-kata yang barusan ia ucapkan terasa amat sangat masuk akal kenapa cowok paling di incar se-Jakarta bisa berakhir di pelukannya. Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal. “Menurutmu apa hubungan ini bisa berhasil?”
“Ini zaman yang sulit untuk seorang cewek,” jelas Devi. “Terus terang sulit untuk bisa memprediksi bagaimana hubungan kalian akan berakhir tapi, satu yang aku tahu pasti.”
“Apa itu?”
“Penting untuk menjaga kerahasian hubungan kalian,” kata Devi dengan tegas. “Kamu tidak pasti mau tahu apa yang akan terjadi saat semua orang tahu hubungan kalian.”
Ano nampak berpikir sebentar. "Biar aku tebak, seluruh cewek se-Jakarta bakal menguliti aku.”
Devi langsung mengangguk. “Tepat sekali dan mereka tidak akan berhenti sampai di situ. Semua masa lalumu bakal diumbar lalu, setiap centi tubuhmu akan mereka nilai dan mereka akan amat sangat membencimu karena dikalahkan oleh seorang cewek Depok.”
Ano menarik napas dalam-dalam. “Dev, aku merasa ini adalah sebuah Paramour.”
“Maksudmu band jadul yang sudah bubar?”
Ano langsung mengerlingkan kedua bola matanya. “ Itu Paramore Dev, yang aku maksud Paramour” Dengan menekankan pada empat huruf terakhir. “Sebuah hubungan cinta yang tidak boleh diketahui orang lain.”
“Mau bagaimana? Kau dan Divo tak punya pilihan.”
Dahi Ano mengerenyit. “Benarkah? Tidak ada pilihan lain selain terus menyimpan erat hubungan ini.”
Devi mendekatkan wajahnya. “Kamu ingin hubungan dengan Divo berjalan mulus tanpa ada halangan? Kalau iya, maka paramour adalah pilihan satu-satunya. Kamu tidak tahu betapa kejamnya cewek-cewek metropolitan Jakarta dan mereka tidak akan segan untuk merusak hubungan kalian berdua.”
Bayangan dua perempuan di restauran Thamrin Nine saat pertama kali makan malam muncul di benak Ano. “Sedesperate itu yah, cewek-cewek zaman sekarang?”
“Mereka pun tidak punya pilihan Ano. Berapa banyak sih cowok yang tersisa di Jakarta?”
“Tidak punya pacar bingung, punya pacar lebih bingung lagi.”
Sontak baik Ano maupun Devi langsung tertawa.