"Kau terlihat berbeda?"
Ano langsung merapikan rambutnya, "aku tidak sempat keramas minggu ini."
Tanti langsung menggeleng. "Bukan itu tapi, terlihat jauh berbeda ketimbang beberapa bulan lalu saat pertama kali masuk sini."
Tangan Ano menepuk-nepuk pipinya. "Pasti itu karena make up yang lebih berkelas. Foundation colourstay dan bedak Mari Kay."
Tanti langsung terlihat takjub mendengar Ano memakai dua brand itu. "Wow, nampaknya investasimu mahal juga. Apa jangan-jangan kau sedang berusaha untuk mendapatkan perhatian Mr Untouchable?"
Ano nyaris tersedak dan segera minum. "Sama sekali tidak!" sambil kembali meneguk air.
Tanti mengerlingkan kedua bola matanya. "Sekalipun aku hrd tapi, amat sangat memaklumi kalau kau sampai punya niat ke arah situ. Kita semua di sini pun akan melakukan hal yang sama kalau punya kesempatan untuk dekat dengan Mr Untouchable."
Ano menepuk dadanya memastikan kerongkongannya sudah lancar. "Tan, aku cuma ingin terlihat seperti orang yang bekerja di Sudirman. Lagi pula mana mungkin sih seorang Divo bisa tertarik dengan aku ini." Kedua tangannya menunjuk badan dari atas sampai bawah.
"Baiklah tapi, dari semua lelaki selain Pak Divo memangnya tidak ada yang kamu incar?"
Ano menoleh ke belakang, dimana meja karyawan berada. Karyawan First News selalu berkumpul pada jam makan siang dalam satu meja dan pastinya menjadi pusat perhatian dan pemandangan segar di siang hari. Sejujurnya, jika tidak ada Divo perhatian Ano kan tertuju pada Edward sebab, ia satu-satunya cowok yang terlihat dewasa ketimbang yang lain.
"Selalu begitu yah, kalau bukan Mr Untouchable pasti Pak Edward."
Ano berbalik. "Aku tidak bilang kalau---"
"Matamu tidak bisa berbohong," potong Tanti.
Ano pun mengangkat kedua bahunya. "Ya habis tidak banyak pilihan." Kemudian teringat sesuatu, "di sini ada yang pernah dekat dengan Mr Untouchable?"
Tanti memberi petunjuk dengan gerakan matanya. "Katanya sih, pernah ada yang coba buat mendekati getuh."
Ano melirik ke meja yang berisi anak-anak marketing. "Tidak heran."
"Tapi, baru katanya," tegas Tanti.
"Kalau First News sebuah sekolah pasti mereka adalah cewek-cewek populernya."
"Aku meragukan itu," kata Tanti sambil mengaduk makanan. "Sebab, karyawati yang paling sering diperbincangkan adalah kau sendiri Ano."
Ano langsung berbalik. "Demi apa?"
"Kamu kerja dengan Pak Divo! Jadi semua mata pasti tertuju padamu."
Ano diam sebentar dan menyesali kebodohannya, selama ini ia berpikir semua perhatian hanya pada Divo namun, ternyata orang-orang juga memperhatikan dirinya. Hal ini membuat dirinya sedikit was-was dan berjanji untuk lebih hati-hati di kantor. "Apa yang orang-orang katakan tentang aku?"
Mata Tanti berputar ke kiri, mencoba mengingat-ingat. "Tunggu sebentar." Sementara tanganya terus saja mengaduk-ngaduk makanan. "Oh iya cuma bilang heran saja kenapa, kau sampai bisa mendapatkan pekerjaan ini."
"Serius?"
Tanti mengangguk, "begitulah."
"Sebenarnya aku juga bertanya hal itu pada Pak Divo dan jawabannya adalah, skripsi luar biasa yang aku buat! Padahal aku sempat menyesali judul skripsi itu karena, membuatku telat lulus."
Tanti langsung menunjuk. "Itu membuktikan kau orang yang teguh dan pantang menyerah."
"Lebih tepatnya keras kepala."
"Bingo!" kata Tanti lantang. "Bikin sesuatu yang viral di zaman ini tidak mudah, butuh seseorang yang bukan cuma cerdas tapi juga keras kepala."
Ano mengingat ratusan data campaign yang ia proses lalu, perjalanan ke Kali Anyar dan menawari Dokter Winarto sebuah panggung baru. "Kalau dipikir-pikir benar juga, kerjaan ini memang butuh orang keras kepala. Jadi selama ini, memangnya tidak ada cewek keras kepala yang apply?"
Tanti menghembuskan napas dengan berat. "Banyak tapi, semuanya mental waktu dikasih ke Pak Divo. Tadinya, biar aman aku memilih laki-laki saja tapi, tahu sendiri."
"Sebelum aku masuk, Pak Divo mengerjakan semua sendiri begitu?"
"Pakai agency tapi, semua supervisi dihandle langsung oleh Pak Divo," jelas Tanti. "Tapi, dia memang tidak puas dengan hasil kerja agency jadi, butuh seseorang yang bisa bekerja langsung dari dalam."
"Aku sih tidak heran kenapa Pak Divo tak puas, kalau dilihat dari report semua pekerjaan agency itu menggunakan bot. Jadi hampir tidak ada real engangement antara brand perusahaan ini dengan masyarakat."
"Nah itu dia, masalah yang selama ini jadi perhatian buat divisi kamu. Kita sudah keluar duit banyak untuk campaign dari agency tapi, hasilnya nyaris tak terdengar. Karena, tidak ada orang yang pegang divisi humas, Pak Divo akhirnya merger humas dengan divisi digital marketing."
Dahi Ano berkerut. "Apakah Pak Divo langsung memilih jadi head digital marketing?"
Tanti langsung melirik kanan dan kiri kemudian menjawab dengan hati-hati. "Sebenarnya dulu tidak ada divisi digital marketing sebab, itu di bawah divisi sales and marketing. Sampai suatu hari ada surat dari BOD yang mengintruksikan untuk memecah digital marketing jadi divisi sendiri dan tebak siapa yang menjadi headnya?'
"Apa surat itu datang bersamaan dengan larangan untuk semua orang bisa bertemu langsung dan hadir di depan umum?"