“Ingat waktu pertama kali kamu tunjukan cara makan gratis?”
Ano mengangguk. “Itu waktu pertama kali kau ke Depok bukan.”
Divo tersenyum. “Selama ini aku nyaman dalam gelembung Thamrin Nine dan sadar kalau ada banyak hal yang tidak pernah aku ketahui setelah gelombang kedua.”
“Kau hanya melihat ke arah yang salah.”
Divo menatap sendu Ano. “Aku mungkin akan terus melihat ke arah yang kalau saja tidak melihatmu di atap rooftop malam itu.”
“Kau mungkin akan dinner di restauran mewah saat ini ketimbang duduk di depan KFC, denganku sambil makan paket panas dari box sisa.”
Divo mendekat dan menempelkan bahunya pada Ano. “Aku akan selalu memilih makan malam gratis dari box sisa denganmu ketimbang fancy dinner di manapun.” Lalu merebut paha ayam dan memakannya.
Ano melirik tajam lalu tersenyum melihat Divo lahap makan paha ayam. “Selalu menyenangkan jika mempunyai pilihan. Jika aku tidak bertemu denganmu, pasti sekarang sedang menatap ke luar jendela rusun.”
“Aku mungkin punya segalanya tapi, tidak pernah sebahagia ini,” kata Divo lalu melempar sisa tulang ayam ke tengah jalan. “Kadang aku bingung bagaimana kau bisa membuat hal sederhana seperti, berdua di rusun membicarakan hal yang tidak pasti sampai tengah malam atau makan gratis di pinggir jalan seperti ini, menjadi satu kenangan tak terlupakan dan membuatku merasa begitu hidup dari pada berada di suites atau pergi ke tempat-tempat mewah. Ano kau membuatku sangat bahagia.”
Ano tersipu. “Dan kau membuatku merasa begitu spesial.”
“Kau memang spesial, berbeda dari semuanya.” Lalu mengecup pipi Ano. “Ingatlah betapa berartinya kau untuk diriku.”
“Selalu Divo.”
Tiba-tiba, sebuah ambulan, mobil lapis baja dan beberapa mobil dinas Kemenkes melewati mereka. Ano dan Divo saling pandang lalu mata mereka mengikuti konvoi yang mengeluarkan suara sirine.
“Apakah kau melihat ambulan dan mobil Kemenkes itu?” tanya Divo.
Ano mengangguk. “Tapi, ini udah lima atau enam tahun semenjak ada kasus mencuat.”
“Ayo kita pergi,” ajak Divo dengan wajah tegang.
Ano mencoba menenangkan. “Mungkin mereka cuma sekadar lewat saja?”
“Tidak mungkin karena, lampu sirine dinyalakan dan mereka membawa mobil lapis baja,” jelas Divo sambil menyalakan motor. “Malam ini kita pulang ke suites saja.”
Ano pun setuju dan pergi dari KFC, ketika melewati jalanan ia melihat video tron yang menampilkan campaign #menemani dengan wajah Dokter Winarto. “Apa menurutmu hipotesa Dokter Winarto benar-benar terjadi?”
“Aku tak tahu dan semoga saja tidak,” balas Divo lalu menambah kecepatan motornya saat akan masuk wilayah Sudirman ternyata beberapa barikade sudah diletakan dan Divo tidak memiliki pilihan lain selain memutar dan mengambil jalan tikus lewat Kampung Bali.