Divo pasti sedang sibuk mengurus keperluan untuk besok, hingga Ano memutuskan untuk tidak menghubunginya malam ini dan ia sendiri mempunyai banyak hal yang berseliweran di benaknya. Sampai-sampai Ano tidak menyadari kereta sudah berada di depannya dengan pintu terbuka. Malam ini ia tidak sendiri di dalam gerbong, perempuan yang pernah dilihatnya saat dulu mencari kerja duduk di hadapan. Ano masih ingat, betapa ia menginginkan blazer perempuan itu. Tanpa pikir panjang, Ano berpindah duduk di pinggirnya dan memulai percakapan dengan memuji blazernya.
Mereka berbincang-bincang sampai statiun Duren Kalibata, sebelum perempuan tersebut turun ia memberikan kartu nama. Ano menyesal mengapa ia tidak sedari dulu mengajak perempuan tersebut untuk mengobrol, sembari membaca kartu namanya perasaan sedih timbul. Perempuan itu tidak tahu bahwa, gelombang ketiga akan datang dan Ano tidak memberitahu sebab, ia tidak mau merusak hari perempuan tersebut yang ternyata baru saja mendapatkan promosi ke level manager.
Sekali lagi Ano mendapati dirinya sendirian di dalam gerbong, melamun memikirkan kereta ini tidak akan lagi berhenti sampai Depok Baru sebab, besok sudah tidak ada lagi penumpang.
***
Ketika sampai di lantai dimana kamarnya berada, Ano mendapati pemandangan yang mengejutkan. “Mbak Henni!” Ano kaget melihat tetangga sedang mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Mbak Henni segera menghampiri dan menarik Ano masuk ke kamarnya. “Ada sesuatu yang Mbak harus beri tahu.” Sambil mengajak duduk. “Mbak dapat notice dari pengurus pusat purnawirawan untuk segera berlindung ke tempat yang sudah ditentukan. Akan ada----”
“Aku tahu Mbak,” potong Ano. “Kemarin ada kluster baru di apartemen Rasuna Sahid dan gelombang ketiga akan datang.”
“Kamu harus ikut Mbak ke tempat perlindungan,” ajak Mbak Henni.
Kepala Ano menggeleng. “Tidak Mbak, besok aku dan pacarku terbang ke Swiss, keluarganya punya bungker di sana.”
“Kamu yakin?” tanya Mbak Henni dengan tak percaya.
Ano memegang tangan tetangganya semenjak enam tahun lalu atau setelah gelombang kedua. “Aku akan baik-baik saja Mbak, percaya sama aku.”
Mbak Henni pun mengangguk walaupun tatapannya terlihat berat, "baiklah." Dan membiarkan Ano keluar.
Sebelum menutup pintu unit rusun Mbak Henni, Ano memberinya senyum seraya berkata. "Semua kan baik-baik saja."
Mbah Henni pun duduk di kursi dan termenung, tak sepenuhnya mempercayai Ano namun, ia juga tahu tidak bisa memaksa Ano untuk ikut dengannya. Pandangannya beralih pada foto-foto keluaga yang dipajang, ia sadar jika selama ini cuma Ano yang menjadi keluarganya di rusun ini. Sebuah perasaan berat menjalar menghinggapi dada Mbak Henni, sebuah perasaan menyesal mengapa ia tidak terus saja memaksa Ano untuk ikut? Tapi, anak itu terlihat tenang sekali seolah mengetahui sesuatu.
Setelah pikirannya tenang Mbak Henni bangkit dan mulai melepas satu demi satu foto dari tembok dan memasukannya ke dalam tas, selanjutnya ia memasukan beberapa baju dan peralatan mandi. Kemudian ia keluar dan menuju unit Ano, langkahnya terhenti saat berada di depan pintu. Ia mendengar sebuah lagu mengalun dari dalam, Ano sama sekali tidak panik dan ini membuat Mbak Henni heran. Tangannya yang hendak mengetuk membeku, "semoga tentang pacarmu di Swiss itu benar adanya," kata Mbak Henni pelan lalu kembali masuk ke unitnya.