Sinar matahari menerobos masuk perlahan dari jendela menghangatkan tubuh Ano yang terbaring lemas di lantai. Si Kucing rebahan di samping sembari memainkan beberapa helai rambut Ano. Rasanya seperti baru kemarin, terbangun dengan kehangatan tubuh Divo sekarang terbaring sendiri lagi di sini. Ano enggan membuka mata dan menghadapi hari ini, ia ingin berbaring saja. Ingin rasanya kesepian yang menyambut di pagi ini, melahapnya menghilangkan rasa sakit yang masih terasa. Tapi, setiap kali Ano memejamkan mata dan berusaha untuk tidak memikirkan Divo maka, semua kenangan akan semakin teringat. Ia pun terpaksa membuka mata, melihat realita lebih baik dari pada melihat kenangan bersama Divo.
Pukul 12:00 dengan perasaan kosong Ano bangkit dan menatap ke luar jendela. Semua masih sama, tidak ada satupun tanda kehidupan. Ia mendekat dan berdiri selama beberapa menit sampai, sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi kemudian sebuah bus yang berisi orang-orang pun melintas. Tapi, apa pedulinya? Ia pun berbalik dan mencoba menyeduh segelas kopi kemudian duduk dan berusaha menikmati kesendirian.
Mata lagi-lagi tertuju pada handphone yang tergeletak di lantai, ia benci pada dirinya sendiri tapi, tidak bisa menahan untuk kembali mengecek handphone. Tidak ada, satupun notifikasi yang diharapkan dan godaan untuk kembali mencari Divo menyeruak. Ano kembali log in Instagramnya yang kini sudah menembus 500k followers dan 1K comment per post. Kali ini ia tertawa membaca semua komentar julid, seolah itu adalah sebuah lelucon kemudian Ano beralih ke thread yang dibacanya kemarin, kali ini ia membacanya perlahan tanpa beban. Terutama bagian dimana cewek-cewek mengutarakan pengalamanya berkencan dengan Divo.
Dari thread ke thread dan dari page ke page, Ano membaca dengan perlahan dan menyerap setiap post orang-orang sampai pada page 250 ia mulai menemukan sesuatu, sebuah pola diantara cewek-cewek ini. “Mereka tidak lebih dari pada sebuah daun yang tertiup angin,” gumamnya.
No 1 : Tidak ada satupun yang bertahan dengan Divo lebih dari beberapa hari saja, semua yang terpikat akan di ghosting setelah one night stand.
No 2: Ada sebuah reply yang menyatakan bahwa, Divo tidak sudi untuk makan di sembarang restauran, ia selalu memilih makan di restauran bintang lima bahkan, tidak segan-segan untuk membatalkan kencan.
“Ini bukan Divo yang kukenal,” kata Ano dan secercah harapan yang masih ada untuk Divo menguat. "Kita menjalani hubungan selama berbulan-bulan bukan sekadar one nigh stand dan kau tidak pernah keberatan untuk makan dipinggir jalan sekalipun itu adalah makanan sisa." Ano mengigit bibirnya dan berpikir keras, mengapa Divo begitu berbeda dengan dirinya? Tidak ada penjelasan yang logis selain Divo, "benar-benar mencintaiku!" tapi mengapa sekarang ia malah menghilang?
Ano mondar-mandir di dalam rusun, dengan pikiran yang berusaha menyatukan semua petunjuk dari thread dan kenangan bersama Divo selama ini. kemana harus mencari informasi mengenai data-data pribadi Divo? Tiba-tiba terbesit satu nama yang dirasa memiliki data-data Divo.
Ano langsung menelpon Tanti dengan maksud ingin, menanyakan dimana tempat tinggal Divo selain Thamrin Nine? Tapi, dari ujung handphone Tanti sendiri malah terdengar seperti panik, ia seperti terburu-buru untuk pergi dan tidak berkonsentrasi pada pertanyaan Ano. Hal ini, membuat Ano langsung menutup telpon, ia lalu teringat teman Divo di Green Park Office dan berusaha mengingat alamat emailnya pras something @gmail.com butuh beberapa menit sampai akhirnya Ano ingat nama emailnya. “Prastyo!” dan langsung mengetik email.
Ano berharap emailnya segera dibalas dan ia bisa mengetahui nomor ataupun alamat Divo. Hati dan pikiran yang tidak tenang membuatnya, mengelilingi rusun berkali-kali sambil melihat handphone. Tiba-tiba pintu diketuk dan Ano mengintip lewat peep hole dan langsung membukanya. “Mbak Henni,” kata Ano.