Setelah menempuh perjalanan selama hampir dua jam, Ano sampai di Sudirman tiba-tiba lampu motornya meredup dan mati sepertinya aki sudah tidak bisa lagi digunakan, ia mencoba mensela beberapa kali tetap saja motor itu tidak bergeming. Akhirnya Ano memutuskan untuk berjalan kaki menuju KAV 25 dan mendapati beberapa ruas jalan sudah diblokir dengan kawat berduri. Tidak ada yang berubah di Sudriman semua masih terlihat rapi, hanya kawat-kawat berduri saja yang membuat daerah ini sedikit berbeda.
Sepintas kantor ini terlihat baik-baik saja namun, ketika Ano memasuki lobby Millennium Centennial Center kertas berserakan dan tidak ada satupun orang. Sepertinya semua orang pergi tergesa-gesa bahkan, sebuah cup starbuck dan laptop ditinggal begitu saja di meja tamu. Ia segera naik lift dan menuju ruang HRD atau lebih tepatnya meja Tanti. Mengecek laci dan beberapa dokumen yang belum sempat dirapikan, kemudian melihat komputer. Beruntung Tanti tidak sempat shut down sehingga Ano bisa dengan mudah mengakses semua data karyawan. Termasuk data semua head divisi dan itu termasuk Divo. Sayangnya, tidak ada yang Ano tidak ketahui dan ia pun segera naik lift menuju ruangan kaca Divo.
Ano segera membuka laci meja dan mencari apapun yang bisa dijadikan petunjuk, sampai beberapa saat dan ruangan Divo sudah dijelajahi, tak ada satupun yang bisa dijadikan keterangan dimana Divo berada. Ano diam dan mengambil napas dalam-dalam, “seperti aku memang harus mati dalam penasaran,” katanya dengan nada kecewa dan lelah, ia pun keluar dan masuk lift namun, salah menekan tombol lobby dengan lantai redaksi.
Ketika Pintu lift terbuka, Ano melihat sebuah sosok yang tengah santai merokok sambil melihat beberapa layar monitor. Menahan pintu lift dan keluar mendekati sosok itu. “Kau tidak berlindung?”
Sisca menoleh dan kaget melihat Ano. “Untuk apa kamu di sini?”
“Aku ke atas buat cari data Divo,” jawab Ano dengan santai.
“Tidak mengherankan.” Kemudian kembali mengamati layar monitor yang semuanya, menampilkan orang-orang yang tersisa sibuk mencari tempat perlindungan. “Kau lihat mereka yang masuk ke bank, mereka pikir brangkas bank bisa melindungi.”
"Aku bertemu beberapa orang di jalan yang tidak mencari tempat berlindung, mereka sudah tidak peduli apakah besok masih hidup atau tidak."
"Oh ya?" balas Sisca. "Aku pikir semua orang akan panik dan kocar-kacir mencari tempat berlindung seperti karyawan di sini tadi siang."
Ano memperhatikan Sisca bersikap dengan santai seolah besok tidak ada apa-apa. “Aku lupa kau imun.”
Sisca menatap Ano dan tersenyum. “Kau sendiri bagaimana? Mau mengorbankan nyawa demi lelaki paling tampan se-Jakarta?”
Ano menggelengkan kepala. “Aku cuma butuh jawaban dari pada mati penasaran.”
“Wow! Itu alasan yang keren.”
“Terima kasih,” ucap Ano. “Apakah kita berhasil menyelamatkan mereka semua?”
“Seperti begitu, berkat strategimu orang-orang lebih aware dan saat kluster mulai merebak, mereka semua langsung mencari tempat perlindungan. Bisakah kau bayangkan andai kita diam saja? Mereka semua berada dalam ketidaktahuan dan menjalani hidup seperti biasa sementara pemerintah sibuk menyelamatkan orang-orang mereka sendiri.”
Kemudian perhatian keduanya teralihkan pada sebuah layar yang menampilkan Dokter Winarto. Ia nampak sedang memberikan gambaran siklus dari kluster sampai gelombang ketiga yang sepertinya akan terjadi esok hari.
“Apa kau menemukan data yang kau cari di atas sana?”