Ano masih dalam posisi yang sama, tidak bergerak terus saja menikmati dirinya yang tengah diceramahi Karen The Carpenters dan suara lembut itu diganggu oleh sebuah dering, tiba-tiba saja sebuah video call masuk. Dengan malas ia menswipe tombol received.
“Ano apakah kau baik-baik saja?”
Ano menggelengkan kepala. “Ini lebih buruk dari yang aku kira Dev.”
“Kau tidak perlu menghiraukan netizen julid, mereka cuma bisa komen dan---”
“Bukan itu Dev,” potong Ano dengan suara serak. “Aku dipecat hari ini dan Divo sama sekali tidak merespon pesan dan telepon, ia menghilang tanpa begitu saja. Aku juga baca dari berbagai forum, kalau dia memang biasa seperti ini.”
Devi diam sesaat mengamati wajah sahabatnya yang terlihat pucat di layar handphone. "Aku sebenarnya sudah tahu banyak tentang dia tapi, tidak berani memberitahumu karena, saat aku melihatmu di suites, kau terlihat begitu bahagia."
“Aku naif dan bodoh,” kata Ano dan air matanya langsung membasahi pipi.
“Tidak Ano! Kau tidak naif dan bodoh. Siapapun pasti akan jatuh dalam pelukan Divo.”
"Semua cewek pasti akan jatuh dalam pelukannya tapi, cuma aku yang percaya bisa memiliki sepenuhnya seorang Divo," ucap Ano dengan sesegukan. “Dan sekarang aku kehilangan semuanya.”
“Kau masih punya aku,” kata Devi dengan tegas. “Aku akan datang ke rusun setelah kerja.”
Dengan berlinang air mata Ano menatap Devi. “Ini sungguh sakit sekali dan aku tak mau kau datang hanya demi menghiburku semata.”
"Aku sungguh menyesali keputusan untuk tidak memberitahumu." Devi mengamati raut wajah Ano yang dipenuhi kesedihan, mencoba mencari sesuatu yang bisa membuat sahabatnya kembali ceria."Kau ingat saat tugas jurnalistik semester awal? Dosen menyuruh kita untuk mencari narsum tentang prostitusi." Ingatan itu membuat Devi tersenyum, "anak-anak yang lain malah menipu dengan membayar siapapun untuk berpura-pura menjadi wanita panggilan. Tapi, kau bersih keras untuk mencari kupu-kupu malam asli di zaman seperti ini. Aku sudah berkali-kali memarahimu karena hanya membuang-buang waktu saja tapi, kau tidak mendengar dan tetap pada pendirianmu untuk mencari di penjaringan, Jakarta Utara."
Ano hanya diam dengan air mata yang mengalir deras, ia mencoba memahami mengapa sahabatnya membawa kenangan masa kuliah di saat seperti ini.
"Dan kau berhasil menemukan seorang kupu-kupu malam." Devi tersenyum, "kau kuat dan pintar Ano! Aku yakin kamu mampu melewati semua ini."
Ano tersenyum meskipun air mata terus saja membasahi pipinya. "Itu salah satu contoh kebodohanku yang lain," katanya dengan terisak. "Dan lebih bodoh lagi saat kita menyamar menjadi lelaki yang mau booking."