Love In The Time Of Pandemic

waliyadi
Chapter #38

Bab 38

Ano segera menuju statiun Depok Baru dan mendapati tidak ada seorang pun. Tidak ada perempuan penjaga loket ataupun penjaga counter Roti Boy, bahkan diam dengan pintu terbuka tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Ia pun duduk sebentar sembari mengupdate berbagai berita di handphonenya, alangkah kagetnya ia ketika membaca terjadi ledakan kluster di berbagai tempat. Padahal beberapa jam sebelumnya tidak ada berita mengenai ledakan kluster, hanya survivor Kali Anyar, hipotesa Dokter Winarto dan selebgram yang tengah sibuk mencari tempat perlindungan. "Ini lebih cepat dari pada gelombang kedua," kata Ano.

Ia melihat sekelilingnya dan tidak ada tanda-tanda kehidupan, tempat loket dan ruangan masinis kosong bahkan, kereta pun tidak beroperasi. Layar led yang berisikan info jalur pun terhenti, tidak ada satupun jurusan yang beroperasi. Ia mendatangi indomart, mengambil botol mineral dan sepaket masker 4d lalu duduk dan berpikir. Ano benar-benar bingung, bagaimana cara ia bisa pergi ke Jakarta? Sementara hari semakin gelap.

Ketika hendak keluar statiun, ia melihat ke parkiran dan menemukan beberapa motor matic yang tersisa dari gelombang kedua. Cepat-cepat Ano mendekati dan menyalakan senter untuk melihat apakah ban belum kempis dan masih layak jalan? Dengan jeli ia mengamati motor-motor yang disimpan itu, hampir semuanya berdebu dan dikerubuni sarang laba-laba. Beberapa bagian motor-motor itupun nampak, sudah usang dan berkarat. Sampai dengan motor kelima semuanya sudah rusak namun, motor matic keenam yang terparkir di samping post palang penjaga parkir masih terlihat bagus. “Sial dimana kuncinya?” ujar Ano kemudian mengintip ke dalam post dan mendapati kunci motor menempel di tembok. Lengan kecilnya bukan masalah untuk bisa masuk melalui jendela loket, lalu mengambil kunci yang tergantung di dinding.

Berkali-kali Ano menekan tombol starter dan memutar kunci, motor itu tidak bergeming. Ia berhenti sejenak dan kembali mengamati, takut ada kerusakan yang tak terlihat namun, semuanya masih bagus hanya berdebu saja. Ano mengamati bagian belakang dan menyadari kebodohannya, ia mensela beberapa kali sampai motor itu menyala. Suaranya tidak terdengar seperti bagaimana mestinya, "semoga bukan habis bensin," ucapnya sambil mengamati spedometer. Hatinya langsung lega tak kala melihat indikator bensin lumayan penuh. Lampu led terlihat redup karena sudah lama tidak dinyalakan, Ano merasa takut jangan-jangan aki sudah tak berfungsi tapi, ia tidak punya banyak waktu untuk mengkhawatirkan itu sehingga, memutar gasn dengan perlahan dan berharap motor ini mampu bertahan sampai Jakarta. 

Dengan lampu led utama yang redup, Ano harus ekstra berhati-hati. Sementara motor maticnya tidak bisa digas agar lebih kencang, ia berkendara dengan kecepatan konstan seperti keong. Beruntung di zaman silent time ini, semua jalanan sepi. Ano hanya perlu menghindari mobil-mobil dari orang tidak beruntung saat gelombang kedua menerpa yang tidak dibersihkan oleh pemerintah. Ia tidak terlalu kaget sebab, sudah sering melihat saat dihantarkan pulang pergi oleh Divo.

Dalam perjalanan dari Depok menuju Jakarta, sayup-sayup ia mendengar azan. Awalnya Ano kebingungan dengan suara azan ini, dari mana berasal dan mengapa saling bersahutan. Ketika melewati tanah Baru Depok, ia melihat sebuah masjid dengan beberapa orang berkumpul lalu saat melintas di jalan Margonda ada masjid yang mengumandangkan azan juga dan seterusnya selama perjalan. Ketika sampai di Cilodong Ano melewati sebuah masjid dengan seseorang yang berdiri di depannya sembari azan, dari satu masjid ke masjid lain azan ini menyambung, menciptakan rantai azan yang berkesinambungan. Orang-orang yang tersisa seperti tidak semua mencari perlindungan, beberapa pasrah dan berdiam diri dalam masjid sembari melantukan azan. Bagi Ano suara-suara azan itu membantunya melewati gelapnya malam, seperti seorang teman yang bersenandung selama perjalanan.

Suara azan mulai redup saat Ano sampai di Pondok Cina, ia tidak melalui jalan raya melainkan mengambil jalur kampusnya. Ano tidak mau tersesat di saat genting seperti ini, ia lebih mengenali jalur kampus ketimbang jalan Raya Margonda. Saat melewati gedung fisip, matanya mengamati gedung dengan ruangan yang masih menyala. Ano tahu ruang siapa itu karena, ia dan Devi kerap masuk untuk bimbingan skripsi. Motornya yang berjalan lamban memberikan kesempatan bagi Ano untuk melihat siluet seseorang yang sepertinya, tengah berdiri di depan jendela sambil merokok. Orang itu hanya berdiri sembari menyembulkan asap, dari perawakannya Ano yakin bahwa dia adalah dosen pembimbingnya dahulu.

Ano berhenti sejenak saat tiba di jalan Raya Lenteng Agung, ia kebingungan harus ke arah mana? Selama ini Ano hanya tahu jalur commuter dan tidak pernah memperhatikan ketika diantar Divo sementara, handphonenya hanya menyisakan dua bar baterai saja dan ini membuatnya ragu untuk menggunakan Google Maps.

Lihat selengkapnya