Ano kembali menuju ratusan page threads, membacanya kembali demi bisa menemukan petunjuk kecil yang dianggap biasa. Jarinya menscroll dengan kecepatan tinggi, berpacu dengan sisa baterai handphone. Setelah beberapa saat Ano kecewa karena tidak ada satupun hal kecil yang bisa dijadikan petunjuk tentang keberadaan Divo dari threads. Apalagi? Dari jejak digital yang bisa dicari? Tiba-tiba terbesit Instagram! Ano cepat-cepat mengunjungi akun Instagram Divo.
Memperhatikan semua foto-foto aesthetic dengan background tempat kerja ataupun hal-hal yang berhubungan dengan bisnis. Ano tahu Divo selalu ingin dilihat sebagai pribadi yang sukses, seorang entrepreneur dari pada sekadar seseorang dengan paras rupawan. Tapi, apa yang foto-foto ini bisa berikan pada dirinya? Ano menyerah dan mulai bingung namun, ia terus saja menscroll naik turun feed akun Divo. "Sepertinya aku akan mati sendiri di sini, setidaknya ini bukan rusun jelek," katanya mencoba menyemangati diri sendiri. Mati dalam suites mewah dengan memori tentang Divo, tidaklah begitu buruk walaupun tetap mati dengan kesendirian.
Butir air mata jatuh dan Ano segera mengusapnya, ia berusaha untuk menahan tangisnya. Tak guna menangisi akhir yang tragis seperti ini, pandanganya terus saja menatap foto-foto Divo. Kemudian ia mendapati sesuatu yang berbeda saat melihat salah satu foto awal di akun Divo, sebuah foto carousel yang tidak menampilkan background sebagai seorang enterpreneur. Bagi orang lain mungkin itu hanya sebuah foto liburan mewah namun, untuk Ano foto tersebut terlihat janggal. Divo berdiri sebuah dermaga menatap laut, dengan celana pendek dan kemeja biasa. Sebuah foto-foto yang tidak menampilkan Divo sebagai orang sukses dan ia terlihat biasa saja, tidak dalam balutan kemeja slimfit, jam tangan rolex. Sebuah foto biasa yang menjadi petunjuk bagi Ano sebab, dalam captionya tertulis. "The only place where i felt free" beruntung Divo men-tag lokasi foto tersebut.
Ano bangkit dan segera berlari turun.
***
Bu Minah langsung bingung setelah, mendengar permintaan Ano. “Malam-malam gini untuk apa ke pantai di Banten?”
"Dia ada di sana Bu Minah," jawab Ano. "Pacarku ada di Tanjung Lesung.”
Minah terdiam untuk sesaat, kemudian tersenyum. “Memang tidak ada yang paling indah selain cinta, apalagi dalam situasi seperti ini. Cepatan naik, kita akan ke Tanjung Lesung,” perintahnya sambil menyalakan GPS.
Ano mengambil helm yang berada di jok belakang lalu memakainya. “Nanti bayarnya saya transfer saja.”
Minah langsung tertawa. “Silahkan, kalau besok masih hidup.” Dan mereka berdua segera pergi dari kawasan Sudirman.
Kawasan yang dipaksakan untuk terlihat hidup ini, sekarang benar-benar terasa mati bahkan, lampu-lampu gedung dan beragam billboard tidak bisa menipu lagi. Sudirman bagai seseorang yang tengah terbaring dan bergantung pada life support, hidup tak mau matipun segan. Kawasan paling produktif seJakarta kini hanyalah sebuah display pengingat bahwa dahulu manusia pernah menjalani hidup di sini.
Barikade dari pemerintah, menutup semua jalan utama di Sudirman, Minah harus bergelut melalui berbagai jalan tikus. Wanita paruh baya itu dengan sigap berbelok pada setiap gang sementara perhatian Ano terpusatkan pada rumah-rumah di dalam gang. Luput dari perhatian pemerintah dan berada di balik gedung-gedung pencakar langit, membuatnya tak terurus dan perlahan hancur beberapa sudah tidak memiliki atap dan jendela depan. Memperlihatkan ruang tamu dengan segala furniture yang sudah termakan usia bahkan, ada beberapa yang terlihat dengan sisa-sia si pemilik rumah. Rupanya pemerintah hanya memoles saja, tidak benar-benar membersihkan.
Minah berbelok pada sebuah gang yang gelap gulita, hanya cahaya dari lampu motor yang menerangi. Gang ini benar-benar tertutup karena tepat berada di belakang beberapa gedung pencakar langit, ia harus ekstra hati-hati dengan got besar yang berada di kanan-kirinya. Titik cahaya mulai terlihat di ujung gang yakni, mulut gang keluar menuju jalan besar. Sekarang mereka berada di Jalan KH Mansyur dan Ano menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya sebelum mereka benar-benar pergi dari kawasan Sudirman.
155-Kilometer bukanlah jarak yang dekat, sesekali Ano menawarkan Bu Minah untuk gantian mengendarai motor namun, Bu Minah terus menolaknya. Ia merasa senang bisa menghantarkan seseorang demi cinta dan sengaja mengambil tol Jakarta Merak demi menghemat waktu. Sepanjang jalan, mereka menemukan truk dan bus peninggalan gelombang kedua. Daerah-daerah di luar ibu kota memang luput dari pembersihan, sampai-sampai tulang belulang masih terlihat berserakan di pinggir jalan tol.
Untuk menebus semua kebaikan Bu Minah, Ano menceritakan kisah cintanya sepanjang jalan tol. Ini juga untuk mengalihkan perhatian mereka dari pemandangan mengerikan. Bu Minah nampak sangat terhibur dan mengumpat ketika Ano sampai pada bagian dimana Mira menyebarkan foto tanpa izin.
“Ceritanya lebih seru dari pada sinetron-sinetron zaman sebelum gelombang kedua yang sering ditonton di YouTube.”