Mata Ano terpaku pada penghujung kanan pantai beach club, terdapat sebuah dermaga dan ia pun berlari menujunya. kaki Ano terhenti saat ia hendak menginjak dermaga kayu itu, seseorang terlihat berdiri di penghujung dermaga ini, memandang lurus dengan tegap ke arah lautan.
Perlahan Ano berjalan mendekat, berusaha untuk tidak membuat suara bukan karena tidak ingin mengejutkan tetapi, tiba-tiba saja ada rasa tidak siap untuk melihatnya. Pikirannya berkecamuk, jangan-jangan dia memang sengaja pergi atau dia memang seperti yang tertulis pada semua threads? Mengapa ketika sudah sedekat ini timbul keraguan? Padahal dirinya sudah bertekad untuk mengetahui kebenaran ketimbang mati tanpa tahu apapun. Ano mengambil napas dan melanjutkan langkahnya.
“Ini bukan tempat yang buruk untuk mati,” ucap Ano.
“Ano!” kaget Divo. “Bagaimana-----”
“Ada banyak yang harus kau ceritakan padaku,” potong Ano.
Divo terdiam dan sebuah raut wajah yang menyiratkan rasa bersalah nampak, ia membuang pandangan ke lautan berharap bisa menyembunyikan rasa bersalahnya.
Ano mendekat dan ia bisa merasakan seluruh tubuhnya bergetar sama seperti waktu pertama kali Divo masuk ke dalam rusun. “Aku tidak jauh-jauh datang ke sini hanya untuk melihatmu memalingkan wajah. Aku butuh kejelasan Divo! Kau tidak bisa memberikan begitu banyak harapan dan cinta lalu menghilang tiba-tiba,” jelas Ano dengan suara bergetar. “Kau membuatku membenci diriku sendiri dan satu-satunya hal yang membuatku tidak hancur adalah setitik harapan bahwa, semua ini tidak seperti yang orang-orang katakan di internet. Divo Putra Perdana berbeda untukku karena dia benar-benar mencintaiku.”
Divo memalingkan pandangan dari lautan ke Ano dan menghampirinya. “Aku tidak punya pilihan,” kata Divo sambil menatap mata Ano. “Aku pergi untuk menyelamatkanmu.”
Kedua mata Ano memicing. “Maksudmu?”
“Semua orang melihatku sebagai Divo sang pewaris dengan kehidupan sempurna. Tapi lahir dari keluarga Perdana mempunyai harga yang tidak bisa ditawar,” jelas Divo sambil memegang tangan Ano yang terasa begitu dingin, ia pun mengusapnya untuk memberikan kehangatan. “Saat aku berusia 19 tahun atau lebih tepatnya setelah gelombang kedua, kedua orang tuaku melihat kesempatan besar. Mereka tahu anak lelaki merupakan aset paling berharga sehingga menjodohkan aku dengan seorang perempuan dari keluarga old money. Aku berusia 19 tahun dan begitu bodoh karena hanya bisa mengangguk setuju dan semenjak itu Divo Perdana merupakan aset keluarga old money yang tak ternilai.”
Seketika rasa marah dan sedih menguap dalam diri Ano, ia menyadari bahwa semua ini merupakan kesalahannya sendiri. “Jadi foto-foto itu membuat dirimu dalam kesulitan. Aku minta maaf karena---“