"Buruan bilang lu mau apa dan cepet pergi dari sini!!" Lani berdiri menghadap Bara yang duduk dantai bersilang kaki.
"Gue mau lu!!" Bara menurunkan kakinya dan berdiri mendekati Lani
Kini hati Lani merasa lebih takut melihat tatap mata Bara yang sayu dan berwarna merah. Tercium sedikit bau alkohol dari nafasnya. Degup jantungnya semakin cepat, Lani benar-benar sudah merasa takut karena Bara ternyata sedang mabuk. Lani pun berjalan menjauh.
"Gue ambilin minum." Lani membalikkan badannya hendak menuju dapur.
Tapi langkahnya terhambat. Bara lebih dulu meraih tangannya dan menarik tubuh Lani dengan kuat hingga mereka berdua terhuyung jatuh ke atas sofa. Lani berusaha melepaskan diri dari dekapan Bara tapi kedua tangan Bara terlalu kat mencengkeram.
"Lepasin gue atau gue teriak!" Lani memukul dada Bara.
Bara segera membungkam mulut Lani, "Teriak aja, kalo lu teriak besok pagi vidio mesra kita sudah tersebar ke seluruh kampus. Hahaha"
"Bar, lepasin gue plis." Lani terus berusaha melepaskan diri dari pria bermata tajam ini.
Tiba-tiba Bara mencium bibirnya hingga Lani membelalak. Lani memukul kembali tubuh Bara yang berhasil mengungkungnya. Lumatan bibirnya tak dilepaskan sedikitpun, Bara menarik kedua tangan Lani ke samping kanan dan kiri lalu menguncinya kuat dengan telapak tangannya yang berotot. Lani tak sanggup melawan, air matanya lolos menetes di pipi. Bara berhasil menciumi lehernya lalu turun lagi ke bawah sampai hampir menyentuh dadanya. Lani mengerang hingga urat di lehernya menonjol. Wajahnya merah menahan berat badan pria itu.
"Hahahaha," Tiba-tiba Bara menjatuhkan dirinya di sofa dan tertawa puas membuat Lani segera meloloskan diri.
Lani berlari ke arah dapur membawa sebilah pisau dan mengacungkan pada Bara. Nafasnya naik turun diiringi air mata yang sudah mengalir deras.
"Pergi lo!! Atau gue akan berbuat yang lebih lagi!!" Ancam Lani mendekatkan pisau kepada Bara.
Bara hanya tertawa melihat tangan Lani yang gemetar hebat. Dengan cepat Bara menampik pisau itu hingga terjatuh ke lantai lalu melingkarkan tangannya di pinggang Lani.
"Tenang, gue gak akan ngapa-ngapain. Yang tadi itu cuma pemanasan kalau lu masih ngelawan gue. Jadi lu tahu kan rasanya gimana kalo lu masih ngelawan gue?" Bara mendekat, berbicara dalam jarak sangat dekat hingga bau alkohol itu semaki menyengat
"Bar, pliss, udah cukup!!!" Lani bersujud di hadapan Bara dengan isak tangis yang terus bergulir. Tubuhnya gemetar hebat.
"Oke, gue udahan kok. Ternyata ciuman sama lu enak juga yah?" Bara berbalik badan.
Mendengar kata-kata menjijikkan itu Lani mengepalkan kedua tangannya di atas pahanya yang masih terlipat di atas lantai. Bara kembali tertawa lalu perlahan mundur. Ia meraih jaketnya yang sudah berserakan di lantai. Langkahnya menjauh keluar dari rumah Ambar. Deru suara motor terdengar, lalu suasana menjadi hening.
Lani masih bersimpuh di lantai. Ia menjerit dengan keras dan menangis. Kedua tangannya menjambak rambutnya yang berantakan. Sakit sekali hatinya malam ini mendapat pelecehan dari Bara tapi ia tak mampu melawan.
Lani berusaha berdiri. Lututnya masih terasa lemas gemetar. Dengan lunglai ia berjalan keluar rumah untuk segera menutup gerbang dan mengunci semua pintu rumah. Lani masuk ke dalam kamarnya, duduk di balik pintu dengan kedua kaki tertekuk. Tangisannya tak bisa ia hentikan. Terisak, tersedu-sedu hingga sakit di tenggorokan dan ulu hatinya.
Sebelum Ambar dan seluruh keluarganya pulang, Lani membereskan ruangan yang berantakan akibat aksi kejam Bara, lalu bergegas ke kamar mandi untuk mengguyur semua badannya tanpa kecuali. Biar basah, agar aroma alkohol dari mulut bajingan itu hilang dari penciumannya, agar bekas sentuhan bibir menjijikan itu hilang dari leher dan dadanya. Dan Lani kembali berteriak di bawah derasnya air shower yang mengucur.
Tin..tin..
Suara mobil Ambar datang. Lani membukakan pintu rumahnya. Kedua keponakannya sudah mengantuk hebat, mereka berjalan sempoyongan dengan mata setengah terpejam menuju kamar masing-masing. Lani menerima beberapa kantung berisi makanan dari tangan Ambar.
"Lani, kamu habis nangis?" Ambar mendapati mata Lani yang sembab dan berkantung
"Oh, iya tante.. habis liat drakor sedih jadi ikut nangis, Ceritanya sedih banget." Untung Lani segera mendapat alasan untuk menutupi kenyataan bahwa ia memang baru saja selesai menangis tadi
"Dasar cewek, liat drama aja sampai segitunya. Haha." Kata Yusuf, suami Ambar
"Rumah aman kan? Gak ada tamu?" pertanyaan Ambar membuat Lani panik
"Em, enggak tante. Aman kok." Matanya melirik ke kanan dan kiri takut masih ada jejak Bara yang tertinggal
"Oke, tante ke kamar yah, capek banget."
"Iya tante, Lani juga mau lanjut nonton di kamar. Eh tante, Lani besok minta ijin berangkat pagi-pagi banget yah? Mau ada acara baksos di luar kota yang kemarin udah Lani ceritakan itu."
"Iya, hati-hati yah, semoga sukses acaranya."
"Makasih tante."
Lani kembali ke kamarnya, berdiri di depan cermin mengamati matanya yang benar-benar sembab. Lani menghela nafas kemudian bersiap merebahkan diri di atas tempat tidur. Ditarik selimutnya hingga setinggi leher. Lani mencoba memejamkan mata dan melupakan kejadian mengerikan tadi. Bayang-bayang Bara menghantuinya. Lani sulit memejamkan mata. Jantungnya seperti berlari mengingat bagaimana mengerikannya tatapan mata Bara yang sedang mabuk itu dan keberingasannya mencumbui seluruh tubuhnya.
Matanya kembali terbuka. Ia menyalakan lampu di atas mejanya dan meraih ponselnya. Lani membuka akun sosial medianya untuk mencoba mencari tahu apakan Bara juga memiliki akun sosial media. Beberapa clue nama ditulisnya di tombol pencarian. Sepertinya Bara tak punya sosial media. Laki-laki seperti dia mana mungkin ngurusin sosial media.
Lani meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Otaknya berpikir ingin sekali mencari tahu siapa dan bagaimana kehidupan Bara hingga dia bersikap seperi berandalan seperti ini. Lani harus menemukan cara agar hidupnya kembali normal seperti sedia kala. Bara adalah ancaman besar. Mungkin malam ini Bara hanya menggertak, tapi bisa jadi suatu hari nanti Bara benar-benar akan melakukan yang lebih dari ini.
***
Pagi-pagi sekali bus rombongan bakti sosial sudah melaju keluar dari kampus setelah acara dibuka oleh rektor dam para dosen di aula kampus. Lani bersandar pada bangku penumpang tepat di belakang supir. Matanya terpejam erat karen merasa sangat ngantuk. Masih pagi tapi terasa sekali sangat lelah. Seolah mimpi buruk, bahkan dalam perjalanan pun bayangan Bara masuk ke dalam tidurnya membuat Lani tersentak dan membuka mata.
"Heh, kenapa lu?" Renata terkejut saat Lani tiba-tiba menarik nafas panjang.
"Hmh, nggak papa. Gue cuma kebangun aja."
"Beberapa hari ini sikap lu aneh banget deh. Ada masalah apa lu?" Renata penasaran dengan sikap Lani yang tiba-tiba menjadi pendiam. Padahal biasanya dia selalu cerewet kalau menyangkut urusan kuliah dan organisasi
"Pengen aja. Hehehe"
Tiba-tiba Lani teringat sesuatu, matanya terbuka dan mencari sosok Varo, senior sekaligus ketua HIMA mereka. Varo ada di bangku belakang. Lani berdiri dan menghampiri Varo.
"Kak, boleh duduk di sini nggak?" Kebetulan sekali bangku di sebelah Varo memang kosong.
"Eh, Lani. Bolehlah. Duduk aja. Kenapa pindah?" tanya Varo meraih jaket yang tergeletak di bangku kosong itu agar Lani bisa duduk di sana.
"Gue mau tanya-tanya boleh?"
"Apaan?"
"Lu kenal Bara nggak?"