Erickson mengemudikan mobilnya dengan kecepatan normal. Pria itu kini telah melewati dua jembatan yang menandakan dirinya sudah hampir sampai di tempat tujuan. Tidak ada kemacetan yang mengganggunya sepanjang jalan, mungkin karena jam yang masih menunjukkan pukul empat dini hari. Untung saja ia tak ikut minum semalam, jika tidak ia tak akan mengemudi seperti ini dan terpaksa memanggil Arthur.
Telepon yang datang padanya tiga puluh menit yang lalu lah yang menjadi sebab ia menyusuri jalanan yang masih cukup sepi.
Wanita dalam telepon itu berbicara dengan nada yang lemah lembut, berlawanan dengan alasan dia menelepon pagi-pagi buta.
Ayahnya Erickson terlibat kecelakaan saat saat mengemudi bersama ibu tirinya —yang tadi meneleponnya—. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sedang berada di UGD. Meski sang ibu telah mengatakan bahwa itu bukanlah kecelakaan yang parah, tapi ia minta Erickson untuk datang karena ayahnya tidak sadarkan diri.
Ia menghentikan mobilnya di parkiran sebuah rumah sakit besar di New York. Melangkah pasti tanpa ada keragu-raguan di tiap langkahnya, menuju sebuah ruangan nomor 307. Tanpa mengetuk terlebih dahulu, Erickson segera masuk yang disambut dengan raut wajah lega dari wanita paruh baya yang familiar itu.
"Apa kata dokter?" Erickson berjalan mendekat ke ranjang dimana terdapat sang ayah yang tidak sadarkan diri.
"Sudah tidak apa-apa. Katanya cuma luka ringan." Ibunya duduk di salah satu kursi di samping tempat tidur itu.
"Kenapa belum sadar?" Erickson menatap jendela, tak ingin menatap salah satu dari orang di dalam kamar itu.