Aluna Sagita Gutawa,,,
Adalah nama yang diberikan kedua orang tuaku, ketika untuk pertama kalinya mereka mendengar tangisanku di dunia. Kata papa, tangisan itu terdengar merdu bagaikan alunan sebuah lagu. Seindah nama yang ia berikan. Mama bilang, aku menangis kencang hari itu. Ketika akhirnya aku berkenalan dengan Bumi.
Sejak kecil, aku percaya bahwa kehidupan selalu berjalan seindah cerita dari negeri dongeng. Cerita yang selalu dibacakan mama sebagai pengantar tidur. Cerita yang selalu dibuktikan papa dari caranya menatap dan memperlakukan keluarga kecil kami. Dan meski telah beranjak dewasa, aku masih tetap mempercayai kisah-kisah itu.
Adik perempuanku, Aura Aria Gutawa, lahir 14 tahun kemudian. Ia adalah malaikat kecil yang telah lama kudambakan. Kehadirannya membuatku merasa lengkap. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan dalam hidup ini, karena semua telah kumiliki. Dan aku tidak akan berhenti bersyukur karenanya.
Papa adalah seorang musisi. Ia dan musik telah lama bersahabat. Rasa cintanya pada musik dapat dirasakan dalam setiap nada yang ia mainkan. Seperti papa, aku pun tumbuh bersama musik. Musik menjadi sahabat sekaligus bagian dari diriku.
Kecintaanku terhadap musik, memberiku keberanian untuk memulai karir sebagai penyanyi. Lagu-lagu beraliran pop-klasik menjadi identitasku dalam bermusik. Lagu pertama yang kuluncurkan, mendapat respon positif dari masyarakat, dan seiring dengan berjalannya waktu, karya-karyaku mulai mendapat tempat di hati mereka. Rasanya menyenangkan ketika orang lain menyukai apa yang kau lakukan dan selalu ada untuk mendukungmu.
Ya... Aku dikelilingi oleh cinta yang begitu banyak. Jadi apa lagi yang kubutuhkan? Bukankah semua sudah ada dalam genggamanku?
Namun...
Benarkah perjalanan hidup seindah cerita dalam negeri dongeng? Benarkah semua kisah tentang kehidupan yang selama ini kupercaya, sungguh terjadi dalam kehidupan nyata? Lalu mengapa aku mulai meragukan hal itu ketika akhirnya aku bertemu dengannya? Seorang pria misterius, yang berhasil menjungkir-balikkan duniaku...
☆☆☆
Hari ini, hari pertama Rara di sekolah barunya, Nusantara Elementary School. Papa dan mama setuju untuk memindahkan Rara, karena sekolah tersebut memiliki kurikulum yang lebih maju, berstandar internasional, dan bisa di bilang sekolah itu cukup bergengsi. Aku mendukung penuh keputusan orang tuaku. Karena aku tau mereka selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Mereka selalu mengharapkan yang terbaik untuk kami.
“Kamu yakin mau menemani Rara hari ini?” Tanya Papa, ketika mobil berhenti di depan gerbang sekolah.
Pertanyaan itu ditujukan padaku—untuk kesekian kalinya hari ini. Papa tau betul, betapa protektifnya aku terhadap Rara. Namun tetap saja, ia tidak memahami kenapa aku begitu mengkhawatirkan sekolah baru adikku itu.
“Yakin Pa.” Jawabku tegas—untuk kesekian kalinya pula.
Sejak awal, orang tuaku tidak mencemaskan Rara ataupun sekolah barunya. Seharusnya aku pun seperti itu, mengingat reputasi baik yang melekat pada sekolah itu. Namun entah mengapa, aku tetap merasa khawatir. Aku tau sekolah itu istimewa, namun pemahaman itu tidak mampu mengusir kekhawatiranku. Paling tidak, aku ingin memastikan Rara baik-baik saja di hari pertamanya. Jika tidak ada kejadian buruk atau semacamnya di hari ini, aku mungkin bisa sedikit lebih tenang di kemudian hari.
"Ya sudah kalau begitu. Nanti Papa jemput.” Kata Papa, tidak ingin berdebat lagi.
Aku dan Rara mengangguk.
Kami turun dari mobil setelah mencium papa dan mama. Papa menatapku melalui kaca spion untuk terakhir kalinya, memastikan. Sudah semalaman kami beradu pendapat, dan aku tetap pada pendirianku. Aku tidak akan meninggalkan Rara sendirian di hari pertamanya!
Aku mengabaikan tatapan papa, pura-pura tidak melihat. Setelah membunyikan klakson, papa melajukan mobilnya. Aku dan Rara melambaikan tangan, hingga mobil meninggalkan area sekolah.
Begitu mobil telah berbelok, aku membalikkan badan menatap sekolah itu. Untuk pertama kalinya aku melihat dengan jelas detil sekolah baru Rara. Kesan pertamaku, sekolah itu sangat besar dan mewah.
Dari gerbang hingga bangunan utama, terdapat lapangan luas dengan tiang bendera yang terletak di tengah. Di sisi lain lapangan, terdapat sebuah taman bunga kecil dengan bangku-bangku taman tersusun di beberapa sisi. Di dekatnya terdapat taman bermain. Sedangkan disisi yang berseberangan ada lapangan untuk berolahraga. Aku mengenali bentuk garis putih yang biasa digunakan sebagai pembatas dalam olahraga basket dan bulutangkis.
Seorang Guru telah menanti kedatangan kami di depan pintu utama bangunan sekolah. Begitu melihat kami, ia tersenyum lalu menghampiri. Dia wanita yang ramah dan lembut bila dilihat dari senyumnya yang merekah.
“Selamat pagi... Saya Ibu Tuti. Guru sekaligus wali kelas baru Rara.” Sapa Bu Tuti, mengulurkan tangan padaku.
Aku menjabat tangan Bu Tuti, “Halo Bu, saya Luna. Kakaknya Rara.” Aku memperkenalkan diri. Meski dari caranya menatapku, aku tau dia telah mengenal siapa aku.
Bu Tuti tersenyum lalu menghampiri Rara, menjabat tangan kecilnya. Wajah adikku terlihat agak pucat. Dia pasti gugup, karena harus bertemu banyak orang baru hari ini. Selain itu, rasanya ukuran bangunan sekolah juga mempengaruhi Rara. Sekolahnya yang dulu tidak sebesar ini. Wajar jika hal itu membuatnya takut. Untunglah ada aku yang menemaninya. Kasihan adikku, bila harus melewati hari pertamanya sendiri.
Bu Tuti menghalauku dari pikiran tentang Rara. Beliau lalu membimbing kami berjalan menuju sebuah kelas. Kelas itu berada di lantai satu, dan posisinya tidak begitu jauh dari pintu masuk. Kami hanya perlu melewati satu belokan pendek untuk tiba di sana.
“Mulai hari ini, ini akan jadi kelas Rara.” Kata Bu Tuti, lebih kepada Rara. Senyuman masih mengembang di wajahnya. “Mudah-mudahan Rara betah di sini ya.”
Aku mengintip melalui jendela. Murid-murid dalam kelas itu terlihat tertib dan tenang. Sorot mata mereka menunjukkan betapa terpelajarnya mereka.
Aku tersenyum, lega. Adikku pasti bisa menyesuaikan diri. Dia anak yang pintar dan mudah beradaptasi. Aku menghampiri Rara dan memeluknya.
“Good luck, sayang. Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak.” Kataku seraya mencium pipi mungilnya.
Rara mengangguk. Bu Tuti tersenyum melihat kedekatan kami.
“Bu, saya akan menunggu di taman depan, kalau butuh sesuatu, silahkan hubungi saya.” Aku mengambil secarik kertas dari dalam tas dan menuliskan nomor telponku.
Bu Tuti menerima kertas itu. “Kamu jangan khawatir. Rara akan baik-baik saja. Dia pasti senang bila sudah bertemu teman-teman barunya.” Bu Tuti melihat kekhawatiran di wajahku. Wanita itu lalu menoleh pada Rara, “ayo kita masuk dan berkenalan dengan teman-teman baru kamu.” Ajak Bu Tuti, menggandeng Rara.
Ketika Rara melambai ke arahku, aku tersenyum memberi semangat. Aku menghibur diri sendiri dengan meyakini bahwa adik kecilku itu akan baik-baik saja. Ini sekolah yang bagus, ia akan baik-baik saja.