Rara kembali ke kelasnya, dan sejauh ini semua baik-baik saja.
Aku tidak muncul ketika pria itu mengantar Rara kembali ke kelasnya. Meski diam-diam, aku menyusul mereka dari belakang. Di depan Rara dan Bu Tuti, aku bersikap seolah-olah tidak tau apa yang terjadi. Bu Tuti menjelaskan secara singkat bahwa tadi ada seorang guru yang datang dan mengantar Rara. Hanya itu. Aku menerima penjelasan itu tanpa satu pun pertanyaan. Meski agak heran dengan reaksiku yang tenang—sangat berlawanan dengan kepanikanku sebelumnya, kurasa Bu Tuti bisa menerimanya. Ia kembali masuk dan melanjutkan pelajaran yang sempat tertunda. Aku mengawasi adikku dari balik kaca. Sepertinya ia sudah melupakan kekesalannya terhadap teman-teman barunya itu.
Aku menghembuskan napas, lega.
Menyenangkan menjadi anak kecil. Mereka bisa dengan mudah melupakan rasa kesalnya. Mereka tidak perlu memikirkan berbagai masalah, dan mereka tidak butuh berbagai pertimbangan, seperti yang selalu dilakukan orang dewasa.
Aku memutuskan untuk menunggu Rara di taman depan sekolah, mengingat aku telah menyusuri setiap sudut sekolah dan tidak tau harus kemana lagi. Aku hendak menghampiri salah satu bangku yang ada di taman, ketika mataku menangkap sebuah jalan setapak kecil di samping bangunan utama sekolah. Sebenarnya aku agak ragu dan takut untuk mencari tau kemana jalan itu mengarah, namun rasa penasaran terus mendorongku untuk menyusuri jalan itu. Akhirnya kuputuskan untuk mengikuti kata hati. Kalau memang sesuatu yang buruk menungguku disana, aku sudah mempersiapkan diri untuk berlari secepat yang aku bisa.
Jalanan itu merupakan jalan setapak yang panjang—kurang lebih mengikuti panjang sisi bangunan sekolah. Aku berjalan dengan perasaan was-was—sesekali menoleh ke belakang. Setibanya di ujung jalan setapak itu, betapa terkejutnya aku ketika menemukan sebuah taman lain disana. Taman ini bentuknya memanjang, minimalis, dan tidak banyak ornamen. Hanya ada bangku taman dan beberapa pohon. Sepertinya taman ini digunakan sebagai area khusus merokok. Terlihat asbak-asbak kayu yang diletakkan di sudut-sudut bangku.
Aku tersenyum mengingat ketakutan tanpa alasanku, beberapa waktu yang lalu. Ternyata, rasa takutku akan tempat ini tidak terbukti. Aku menarik napas menghirup udara segar yang dihasilkan oleh pepohonan, sambil mengedarkan pandang ke seluruh sudut taman. Dan tanpa sengaja, aku pun melihat-nya.
Pria itu duduk di bangku paling ujung—tidak merokok, namun sedang menundukkan kepala—membaca sebuah buku. Dia terlihat sangat serius dengan buku yang sedang dibacanya, hingga tidak menyadari kehadiranku.
Haruskah aku menghampirinya? Atau lebih baik aku pergi saja?
Dia,,, pria yang sangat menyebalkan. Tidak pernah ada pria yang memperlakukanku seperti dirinya. Kebanyakan pria akan melakukan apa saja demi mendapat kesempatan bicara denganku. Namun pria ini berbeda, aku merasa seolah-olah dia ingin menjauh dariku. Aku seperti sebuah gangguan baginya. Dan anehnya, meski diperlakukan seperti itu, aku malah semakin ingin mengenalnya.
Aku menghembuskan napas, percuma berdebat dengan diri sendiri. Setelah memantapkan hati, aku pun berjalan menghampirinya. Aku telah siap dengan semua kemungkinan yang akan terjadi nanti.
“Jadi,,, ini tempat persembunyian kamu?”—adalah kalimat pertama yang keluar dari mulutku. “Tempat ini bagus juga. Ternyata sekolah memiliki taman tersembunyi yang cukup asri.” Tambahku, sembari melirik ke arahnya.
Pria itu terus membaca tanpa menghiraukanku. Seolah tidak ada siapapun disana, seolah tidak ada yang sedang berbicara padanya. Sikapnya masih sama seperti ketika aku menyapanya di depan toilet anak laki-laki.
Aku memejamkan mata. Bernapas, pikirku. Aku menarik napas panjang, mencoba meredam rasa kesal yang perlahan muncul. Aku duduk di sampingnya, mencoba melihat buku apa yang sedang ia baca. Entah mengapa, aku sangat penasaran pada pria ini, dan aku tidak ingin menyerah sekarang. Aku tidak boleh kalah.
Untuk ukuran anak muda jaman sekarang, pria ini jelas memiliki selera membaca yang bagus. Pertama, tidak banyak pria yang senang membaca di waktu luangnya. Teman-temanku malah lebih memilih tidur sepanjang hari, daripada harus menghabiskan waktu untuk membaca sebuah buku. Kedua, Paulo Coelho jelas bukanlah jenis penulis yang disukai oleh kebanyakan anak muda, khususnya oleh anak laki-laki. Aku telah membaca beberapa karyanya, dan jujur saja tulisannya bukanlah jenis tulisan yang ringan.
Aku berdeham. “Aku baru tau, di jaman secanggih dan semaju ini masih ada orang yang menghabiskan waktunya dengan membaca buku, bukan bermain gadget.” Kataku, berusaha terdengar ringan dan santai.
Pria itu tetap diam, mematung di tempatnya. Matanya bergerak mengikuti kalimat yang tertulis dalam buku.
“Paulo Coelho?” Kataku pula. Otakku terus bekerja, mencari topik yang bisa diterima olehnya. “Aku punya beberapa koleksi bukunya. Kamu sudah baca yang mana?” Aku tetap berusaha terdengar riang, meski hatiku mulai meradang.
Namun lagi-lagi, hanya keheningan yang menjawab.
Ketika aku memalingkan wajah untuk menatapnya, kulihat pria itu sedang memejamkan mata. Sepertinya ia mulai kesal padaku. Apakah dia merasa terganggu dengan kehadiranku?
Aku menarik napas berat. “Baiklah, aku minta maaf. Aku akan diam.” Mungkin aku terlalu banyak bertanya, dan aku punya firasat kalau sebentar lagi dia akan membentakku. Tapi sungguh, aku ingin sekali bicara dengannya. Aku ingin mendengar dia mengatakan sesuatu padaku. Meski dengan nada suara yang kaku dan dingin.
Kini keheningan menjadi jembatan di antara kami. Rasanya tidak menyenangkan. Rasanya sangat menekan, dan membuat udara terasa menyesakkan. Selama sesaat, kami hanya duduk dalam diam. Pria itu terus sibuk dengan bacaannya, sementara aku tidak tau harus berbuat apa. Aku menjadi gelisah dan salah tingkah. Diam-diam aku menyesali keputusanku untuk menghampirinya. Seharusnya aku tidak datang dan mengajaknya bicara. Seharusnya aku tau kalau pria ini memang tidak menyukaiku. Tapi apa alasannya? Apa yang membuat dia tidak suka padaku?
Sekali lagi aku memalingkan wajah dan menatapnya. Mencoba mengingat semuanya. Sebenarnya apa yang membuat pria ini sangat menarik perhatianku? Apakah caranya bicara pada murid-muridnya? Apakah karena buku yang saat ini ia baca? Ataukah karena sikapnya yang lembut pada Rara sehingga adikku itu bisa dengan mudah menyukainya?
Karena sejauh ini, bagiku, dia hanyalah pria menyebalkan, yang tidak mau bicara denganku. Bahkan ia tidak mau menatapku. Apa ada yang salah dengan wajahku? Atau jangan-jangan mulutku bau? Diam-diam aku menghembuskan napas. Napasku cukup segar, beraroma mint. Lalu apa yang salah? Siapa yang salah? Pria yang tidak mau berurusan sama sekali denganku ini, ataukah aku yang secara misterius ingin sekali mengenalnya?
“Rara tidak mudah akrab dengan orang asing. Paling tidak, dia tidak pernah tersenyum dan menerima ajakan dari orang yang baru pertama kali ia temui.” Aku memulai pembicaraan. Keheningan di antara kami terlalu menyesakkan, aku ingin mengakhirinya.
Tubuh pria itu menegang. Aku dapat melihatnya dengan jelas, meski ia berusaha menutupinya.
Tunggu dulu—bila dilihat dari reaksinya, sepertinya dia sudah tau kalau Rara adalah adikku. Aku dan Rara memang pernah tampil bersama di acara televisi. Jika benar begitu, itu artinya dia tau siapa aku. Lalu kenapa dia bersikap seperti itu? Bukankah semua orang akan merasa senang dan bangga jika mereka bertemu dengan seorang public figure? Lalu kenapa dia justru bersikap dingin dan cuek? Kenapa? Kenapa pria ini sangat berbeda dengan orang-orang pada umumnya?