Love Is Him

SavieL
Chapter #4

.: Aku Cinta Dia :.

Pria itu tersenyum...

Kami berada di taman panjang, belakang sekolah. Ia baru saja meletakkan buku di bangku yang ia duduki, lalu berdiri sambil terus menatapku. Layaknya predator yang tengah mengawasi mangsanya. Perlahan, ia berjalan mendekat. Aku menunggu, tanpa bisa mengalihkan pandanganku darinya.

Semakin lama jarak diantara kami semakin dekat. Ada yang berbeda pada dirinya. Aku ingin sekali memikirkan apa yang membuatnya berbeda, namun senyumnya yang menawan, membuatku terlena dan tidak dapat berpikir dengan benar. Saat ini, aku hanya ingin memikirkan senyum itu.

Dia semakin dekat, semakin dekat, semakin dekat...

Kami berhadap-hadapan sekarang, dan aku dapat melihat mata hitamnya dengan jelas. Ketika itulah, aku menyadari apa yang berbeda pada dirinya.

Pertama, dia tidak pernah tersenyum padaku. Kedua, aku melihat dua taring tajam di sudut-sudut bibirnya. Ketiga, mata hitamnya kini perlahan berubah menjadi merah, sangat merah.

Seharusnya aku takut, dan berlari meninggalkannya secepat yang aku mampu. Namun entah mengapa, kakiku tidak mau beranjak sedikit pun. Dia sudah sedekat ini denganku, hingga aku dapat mencium aroma tubuhnya. Mana bisa aku pergi begitu saja?

Aku tidak tau apa yang terjadi, namun kini aku sedang mengangkat kedua tanganku dan memeluknya, tanpa diperintah oleh otakku.

Aku tidak takut padanya, aku sadar itu. Aku malah merasa senang. Karena bukan hanya dapat melihatnya tersenyum, kini aku bahkan sedang memeluk erat dirinya. Jika semua itu harus dibalas dengan dia yang menghisap habis darahku, aku tidak akan melawan. Aku tidak akan menyesalinya. Aku hanya ingin dia terus seperti ini. Karena berada di dekatnya, membuatku merasa tenang dan bahagia.

Hanya ini yang aku inginkan.

☆☆☆

Aku butuh psikolog!!! Pikirku, putus asa.

Setelah kuingat-ingat lagi, rasanya mimpi itu sangat konyol! Bagaimana mungkin mimpi itu harus berakhir dengan keinginanku untuk mati dalam pelukannya? Aku memijat kepalaku pelan, mencoba mengenyahkan mimpi konyol itu. Berkali-kali menarik napas dalam-dalam.

Supir keluarga kami menghentikan mobil tepat di depan gerbang sekolah. Hari ini papa harus bertemu dengan rekan kerjanya, sehingga tidak bisa mengantar kami. Aku masih bersikeras menemani Rara ke sekolah. Namun kali ini, aku tidak begitu yakin untuk alasan apa. Apakah aku masih khawatir pada adikku? Ataukah karena aku ingin bertemu lagi dengan pria yang sudah berhasil menghantuiku itu. Papa tidak terlalu menentangku kali ini, mengingat kemarin Rara memang mengalami apa yang aku takutkan.

Belajar dari pengalaman kemarin, hari ini aku membawa kertas-kertas instrument pekerjaanku, agar tidak bosan selama menunggu Rara. Berhubung aku telah menelusuri setiap sudut sekolah kemarin, hari ini jelas aku tidak punya kegiatan lain.

Memang sih aku berharap dapat bertemu kembali dengan pria itu. Tapi siapa yang tau apakah pria menyebalkan itu akan muncul atau tidak. Bagaimana kalau dia tidak muncul, apa yang harus aku lakukan untuk menghabiskan waktu? Dan kalaupun dia muncul, apa yang bisa aku lakukan?

Aku kembali menarik napas panjang dan dalam. Sejak pertemuan kami, pikiranku terus dipenuhi olehnya. Aku tidak tau namanya, dia tidak mau mengenalku, namun itu tidak berarti apa-apa. Aku malah tidak dapat berhenti memikirkannya.

Setelah memastikan Rara masuk ke kelas dan baik-baik saja selama 30 menit disana, aku pun memutuskan untuk pergi ke taman, dekat taman bermain.

Tempatnya nyaman dan sejuk. Terdapat beberapa bangku yang dilengkapi dengan meja, sengaja diletakan di bawah naungan pohon. Tempat ini cocok untuk kugunakan sembari menghabiskan waktu, menunggu waktu pulang sekolah. Di jam seperti ini, tidak ada siapapun di taman, kecuali aku.

Tidak menunggu lama, aku mulai mengeluarkan kertas-kertas instrument, lalu membenamkan diri di dalamnya. Aku bekerja dengan tenang dan santai selama kurang lebih satu jam, dan aku benar-benar larut dalam pekerjaanku. Kesibukanku itu, membuatku tidak dapat memikirkan hal lain.

Tidak sulit bagiku untuk melupakan sosok pria misterius yang menyebalkan itu, bila saja dia tidak lewat dalam sudut pandangku.

Namun, disanalah dia. Tentu saja! Terlihat tampan dengan kemeja biru tua, yang dipadukan dengan celana dan sepatu hitam. Rambutnya ditata rapi, dan saat aku melihatnya, ia sedang berjalan sambil membawa sebuah kotak.

Bodohnya,,, aku malah buru-buru membereskan kertas-kertasku dan berjalan mengikutinya.

Aku tau tidak seharusnya aku mengikuti dia diam-diam seperti ini. Sudah cukup dia tidak menyukaiku, dan tindakanku ini hanya akan menambah kekesalannya padaku. Kekesalan yang entah bersumber darimana. Masalahnya, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mencari tau apa yang sedang ia lakukan. Aku hanya menuruti keinginan hatiku. Namun jujur, aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi bila ia menangkap basah diriku yang sedang membuntutinya.

Aku terus mengikutinya. Dan semakin lama, pria itu semakin menjauh dari bangunan utama sekolah. Berulang kali aku menoleh ke belakang sambil menimbang apakah keputusanku ini benar, ataukah ini hanyalah keputusan bodoh lain yang kubuat karena dia. Keputusan yang nantinya aku sesali.

Sebenarnya kemana tujuan pria itu? Kenapa dia menjauhi bangunan utama sekolah, sambil membawa sebuah kotak yang sangat mencurigakan? Jangan-jangan dia pengedar narkoba? Penculik anak yang menyamar jadi guru—toh tidak ada guru yang setampan dia? Atau bisa jadi dia adalah pembunuh berantai?

Aku masih mampu mengimbangi langkah pria itu untuk beberapa waktu. Namun lama kelamaan, entah dia yang berjalan semakin cepat, atau aku yang berjalan semakin lama karena kelelahan, tapi yang pasti kini aku telah kehilangan jejaknya. Aku malah tersesat, dan hal itu membuatku takut sekaligus kesal. Rasa kesal itu membuatku berpikir bahwa pria itu benar-benar vampir. Matanya hitam, dia menyebalkan, dan langkahnya sangat cepat.

Aku benci padanya!

“Sedang apa neng?” Tanya sebuah suara di belakangku.

Lihat selengkapnya