Aku tidak tau, apa yang terjadi pada Rara. Namun yang pasti, hari ini adikku menolak pergi ke sekolah. Papa, mama, dan aku, sudah melakukan apa yang bisa kami lakukan untuk membujuknya. Namun Rara tetap menolak. Sepertinya terjadi sesuatu yang sangat mengganggu, hingga dia menolak untuk bersekolah dan juga menolak untuk memberitahukan alasannya pada kami.
Awalnya kupikir semua telah berjalan dengan baik, dan tanpa masalah. Sudah satu bulan Rara di sekolah barunya, dan sejauh ini tidak ada masalah. Aku bahkan kehabisan alasan untuk menemaninya ke sekolah. Artinya, sudah satu bulan pula aku tidak bertemu Ivan.
Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk mengantar dan menjemput adikku di sekolahnya. Namun Ivan bukanlah tipikal pria yang hobinya berdiri di depan gerbang sekolah dan melambai pada murid-muridnya. Jadilah, aku sama sekali tidak punya kesempatan untuk bertemu dengannya.
Lalu sesuatu terjadi. Bu Tuti tiba-tiba menelpon dan memintaku untuk datang. Aku menuju ke sekolah secepat yang kubisa. Ketika tiba di ruang guru, kulihat Rara sedang menangis. Aku menanyakan apa yang terjadi, apa yang membuatnya menangis, namun adikku hanya diam dan menggelengkan kepala.
Setibanya di rumah, papa dan mama menanyakan pertanyaan yang sama, namun Rara tetap diam. Hanya menggeleng, sedih. Menurut dugaanku, alasan Rara menangis pastilah sangat khusus, hingga dia tidak mau menceritakannya. Karena itulah yang akan aku lakukan, jika aku ada diposisinya.
Hari ini, adikku memberitahu kami bahwa ia tidak mau kembali ke sekolahnya. Ia tidak ingin bertemu dengan teman-temannya lagi. Aku, papa dan mama tidak tau harus berbuat apa. Selama Rara tetap diam, kami tidak bisa mencari solusi untuknya. Dan bagi papa, anak seusia Rara harus sekolah, apapun alasannya.
Melihat sikap diam dan penolakan Rara, papa akhirnya memutuskan untuk pergi menemui kepala sekolah, demi mencari jalan keluar untuk masalah Rara. Aku mengatakan pada papa, bahwa aku ingin ikut dengannya dan Rara. Aku ingin menemani Rara, aku merasa sangat khawatir padanya. Meski sebagian diriku pun ikut berharap semoga aku bisa bertemu dengan pria menyebalkan itu.
Entahlah. Aku tidak tau apa yang terjadi padaku selama beberapa hari terakhir ini. Namun yang pasti, diriku yang sekarang sudah berbeda dengan aku yang dulu.
Ivan...
Pria itu terus menghantuiku, bahkan sejak pertama kami bertemu. Ada sesuatu tentang dirinya yang membuatku ingin dekat, dan ingin mengenalnya. Ini bukanlah diriku yang kukenal selama ini. Aku tidak pernah terobsesi pada seseorang seperti ini sebelumnya. Aku tidak pernah bertindak bodoh seperti ini sebelumnya. Aku bahkan tidak pernah berbohong pada keluargaku seperti ini sebelumnya. Rasanya pria itu telah menelan habis semua yang kupikir sebagai diriku selama ini.
Ketika mendengar permintaanku untuk ikut, papa menatapku dengan pandangan curiga. Namun sepertinya papa tidak bisa melihat sosok Ivan dalam tatapan dan ucapanku. Jadi setelah terdiam beberapa saat, ia menerima permintaanku untuk ikut ke sekolah Rara.
Aku tidak ingin berbohong pada papa. Seumur hidup aku bahkan tidak pernah berbohong pada orang tuaku. Setiap kali aku mencobanya, mereka pasti tau. Dan yang terjadi selanjutnya adalah aku akan menceritakan segalanya pada mereka, tanpa bisa menutupi apapun. Namun entah apa yang telah merasukiku kali ini. Tidak seharusnya aku menggunakan adikku sebagai tameng, demi seseorang yang bahkan tidak ingin mengenalku.
Aku sangat menyayangi keluargaku. Aku sangat mencintai mereka. Namun perasaanku terhadap Ivan, berbeda. Perasaan ini masih baru bagiku, dan aku ingin sekali menjelajahinya. Aku ingin sekali mengenal perasaan ini. Aku tidak ingin mengabaikannya. Aku bahkan membiarkannya menguasaiku, dan mengambil kendali hidupku.
Maafkan aku Papa...
☆☆☆
“Sampai sekarang, Rara belum mau cerita mengenai masalah yang ia hadapi, Pak.” Papa menjelaskan.
Kami di ruang kepala sekolah dan kepala sekolah sedang mendengarkan penjelasan papa. Ada raut khawatir di wajah papa. Melihat anak bungsunya tidak mau bersekolah, pastilah sangat mengganggu pikirannya.
Bagi papa, pendidikan adalah prioritas utama yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang anak, apalagi bila anak itu anaknya. Papa percaya, yang dunia ini butuhkan hanyalah orang-orang pintar dengan wawasan luas. Karena hanya orang-orang seperti itu yang mampu membuat dunia menjadi lebih baik. Aku yakin papa akan melakukan apa saja asalkan aku dan Rara bisa mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Di saat kami tengah sibuk membahas masalahnya, Rara malah asik mengelilingi ruangan kepala sekolah. Dia sangat lugu. Ia bahkan tidak menyadari bahwa semua orang dalam ruangan ini sedang pusing memikirkan dirinya. Dia melupakan semua masalah dengan mudah dan tidak bersusah payah untuk memikirkan jalan keluarnya.
Menyenangkan menjadi anak kecil, pikirku.
Rara lama berhenti di depan jejeran foto yang dipasang memanjang pada salah satu sudut dinding ruangan itu. Ada tulisan besar di atas jejeran foto itu. ‘Daftar Pengajar Sekolah’. Sepertinya foto-foto itu adalah daftar guru yang mengajar di sekolah ini.
Aku memalingkan wajah, menatap ke lapangan melalui jendela yang terbuka. Angin berhembus lembut membelai pipi dan rambutku. Aku tidak tertarik melihat foto-foto itu. Tidak mungkin foto pria menyebalkan itu ada disana, bukan? Dia bukan guru di kelas utama. Dan sepertinya, hanya guru-guru kelas utama yang fotonya terpampang disana.
Aku terus menatap lapangan, berharap ada 1 dari sedikit kesempatan dimana Ivan akan melewati lapangan itu. Hanya lewat, demi memuaskan gundah dalam hatiku. Aku ingin sekali melihat pria itu, meski hanya sesaat. Astaga,,, sejak kapan melihat pria itu menjadi kebutuhanku?
“Bagaimana pun, Rara harus tetap sekolah. Dan saya mengerti jika Bapak memutuskan untuk memindahkan Rara dari sekolah ini demi masa depannya.” Kepala sekolah menyampaikan pendapatnya, setelah lama terdiam—sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Saya sengaja memindahkan Rara dari sekolah lamanya, karena saya ingin anak saya mendapatkan pendidikan yang lebih baik, lebih maju.” Papa menghembuskan napas berat. “Saya tidak bisa memindahkan Rara dalam waktu dekat. Karena bukankah bila terlalu sering berpindah sekolah, justru akan mengganggu perkembangan mentalnya. Dia harus bertemu orang baru lagi, lingkungan baru lagi, beradaptasi kembali. Rara bisa saja terganggu dengan semua itu. Hari ini saya sengaja datang menemui Bapak, karena saya berharap kita bisa mendapatkan solusi yang menguntungkan bagi semua pihak.”
Kepala sekolah menghela napas berat. “Saya ingin sekali membantu Pak, namun bila Rara tidak mau menceritakan masalahnya, saya pun tidak tau harus berbuat apa.” Jelas kepala sekolah, ikut khawatir.
Kedua pria itu terdiam, menyadari masalah sesungguhnya yang sedang mereka hadapi. Keheningan memenuhi ruangan, semua orang sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Aku mau sekolah lagi, kalau dia yang jadi guruku.” Suara Rara memecah keheningan.
Serempak semua mata memandang ke arah Rara. Adikku sedang berhenti di depan sebuah foto. Tangannya menunjuk ke arah wajah tampan—menurutku, yang sudah sangat familiar dalam pikiranku. Aku benar-benar tidak menyangka fotonya ada disana.
Ivan Kurniawan. Adalah keterangan yang tertulis di bawah fotonya. Bahkan hanya melihat fotonya saja sudah mampu membuatku merasa senang.
Di sudut mataku, kulihat kepala sekolah menggeleng ke arah papa. Papa menatap kepala sekolah, bingung.