Love Is Him

SavieL
Chapter #6

.: Parasit :.

Bunyi alarm memecah keheningan pagiku di Negara asing ini.

Aku menarik selimut, hingga menutupi kepala. Berharap bunyi itu dapat teredam. Udara disini sangat dingin, membuatku malas beranjak dari tempat tidurku yang nyaman. Aku akan berbaring sebentar lagi, hanya sebentar, pikirku dari balik hangatnya selimut. Aku mencoba memejamkan mata, membayangkan bunyi alarm itu adalah lantunan sebuah lagu. Untuk sesaat, aku berhasil. Perlahan-lahan, kantuk itu kembali. Aku pun terbuai dalam mimpi.

Aku melihat sebuah taman. Aku mengenal taman ini. Bentuknya memanjang, dan terletak di belakang sebuah bangunan sekolah. Yang menarik bukanlah taman ini. Namun, pria yang sedang duduk di ujung taman sambil membaca. Pria itu sangat tampan, pikirku dengan perasaan gembira. Ia memiliki mata dan rambut hitam yang sangat serasi. Aku ingin sekali mendekat, dan membelai rambutnya. Aku ingin merasakan selembut apa rambut itu.

Aku melangkah sepelan yang aku bisa. Semakin lama jarak diantara kami semakin dekat, dan pria itu sepertinya tidak menyadari kehadiranku. Untunglah. Aku mengulurkan tangan, perlahan. Tidak ingin mengagetkannya. Karena, jika dia melihatku, dia pasti akan mulai memarahiku dan bersikap dingin seperti biasa.

Jarak di antara tanganku dan rambutnya sudah sangat dekat. Semakin dekat. Tiba-tiba, pria itu mengangkat wajahnya. Wajahnya tidak lagi tampan seperti yang selalu kuingat, melainkan berbentuk bulat seperti jam.

Aku terlonjak, bangun.

Aku duduk dengan napas terengah-engah. Setelah berhasil mengatur kembali napasku, aku pun tertawa. Wajah Ivan berubah menjadi sebuah jam, adalah hal paling lucu yang pernah terlintas dalam bayanganku. Dia pasti sangat marah jika tau mimpi ini.

Aku masih terus tertawa, ketika kakiku menyenggol sesuatu. Laptop. Laptop itu masih menyala. Aku jadi ingat, tadi malam aku tertidur, ketika sedang berkomunikasi dengan keluargaku melalui Skype. Aku menghembuskan napas berat.

Sudah hampir tiga bulan aku disini, namun aku belum juga bisa melupakan wajah pria menyebalkan yang telah berhasil menjungkirbalikan duniaku.

Ivan.

Entah sampai kapan pria itu akan berada dalam pikiranku. Menghantui setiap langkahku. Semua salah keluargaku! Bagaimana tidak? Setiap kali aku berkomunikasi dengan mereka, nama pria itu pasti disebut setidaknya satu kali oleh setiap orang.

Rara akan bercerita tentang betapa senangnya dia, karena kini ia seperti mendapatkan kakak baru. Kakak yang bisa membetulkan mainannya, kakak yang bisa menemaninya bermain, kakak yang mengajarinya dengan sabar, kakak yang mahir hampir di segala hal.

Lalu mama akan datang dengan rona merah di pipinya, dan bercerita tentang betapa pria itu sangat menyukai masakannya dan selalu menghabiskan setiap makanan yang ia buat. Tentang betapa pria itu selalu berterima kasih karena mama sudah mau memasak untuknya dan selalu memuji betapa cantiknya penampilan mama.

Kupikir papa akan jadi satu-satunya orang yang berada di pihakku. Namun, papa pun seolah sudah dibuat jatuh cinta oleh pria itu. Papa selalu bercerita bahwa, Ivan mau diajak memancing, nonton konser, main catur, dan berbagai kegiatan pria lainnya. Katanya dia senang karena akhirnya ia punya seorang anak laki-laki.

Entah sejak kapan, seluruh keluargaku jatuh dalam pesonanya yang misterius itu. Namun itu bukan sepenuhnya salah mereka. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan pria itu, sehingga mereka dapat mengenal dan melihat sisi baik dirinya. Tidak seperti aku, yang entah karena apa, malah selalu memikirkannya dan tidak bisa mengenyahkannya dari pikiranku. Padahal, pria itu selalu bersikap menyebalkan padaku.

Mengingat kembali cerita-cerita keluargaku itu, membuatku merasa sangat marah. Aku marah bukan karena merasa diabaikan atau dilupakan atau seolah digantikan. Aku marah karena aku tidak ada dalam cerita-cerita itu. Kenapa aku tidak bisa merasakan cerita-cerita itu secara dekat dan menjadi bagian di dalamnya?

Aku juga ingin nonton konser bareng Ivan. Aku juga ingin dia mencicipi masakanku. Aku juga ingin dia menghabiskan waktunya denganku. Tapi kenyataannya, disinilah aku sekarang. Berada jutaan kilometer dari kebahagiaan itu. Aku jadi bertanya-tanya, jika kami sering bertemu seperti itu dan menghabiskan banyak waktu bersama, apakah dia akan bersikap lebih hangat padaku?

“Pria itu juga aneh!” Ocehku, pada pantulan diriku di cermin. Aku sedang bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. “Kenapa sih pria bodoh itu selalu bersikap dingin padaku? Kenapa hanya padaku, sedangkan pada orang lain tidak? Kalau benar dia itu vampir yang menginginkan darahku, ya sudah. Aku tidak keberatan, memberikan semua darahku untuknya!” Kataku, jengkel.

Aku mengambil tas, dan menutup pintu apartment dengan kencang, sangking kesalnya. Kuharap tidak ada orang yang sedang memperhatikanku. Aku pasti terlihat sangat aneh karena marah-marah sendiri dengan menggunakan bahasa Indonesia, yang pasti terdengar asing dan aneh di kota ini—sambil membanting pintu dengan penuh kemarahan.

Aku menarik napas berkali-kali, mencoba menenangkan diri. Bagaimana pun juga aku harus kembali ke rutinitasku dengan wajah bahagia. Aku tidak mau menjelaskan pada kedua sahabatku, kenapa di hari sedingin dan sepagi ini, aku sudah terlihat kesal. Mereka pasti kebingungan kalau tau, kekesalanku ini berasal dari seorang pria yang bahkan tidak ingin menganggapku ada di dunia. Paling tidak, tidak ada di dunianya.

Lagipula akan memakan waktu yang sangat lama untuk menjelaskan semua tentang Ivan pada mereka, dan sekarang bukanlah saat yang tepat. Aku hanya ingin melupakan pria itu, agar aku dapat melewati hari ini dengan tenang.

Butuh waktu 15 menit berjalan kaki dari apartment-ku, untuk tiba di kampus. Sebenarnya aku bisa menggunakan kendaraan agar tiba lebih cepat, namun jalan kaki bisa menjadi salah satu olahraga dengan dampak positif bagi tubuh. Lagipula, pemandangan di sepanjang jalan yang kulewati ini sangatlah indah. Sayang untuk dilewatkan.

Seandainya pria menyebalkan itu ada disini, aku mungkin akan pura-pura menggigil agar dia mau memelukku. Pikirku sendu.

Aku menggelengkan kepala cepat-cepat, mengenyahkan pikiran yang baru saja terlintas itu. Aku harus berhenti memikirkannya. Jika ia tidak juga enyah dari pikiranku, aku harus benar-benar menemui psikolog. Aku tidak bermaksud kejam pada diri sendiri. Namun saat ini aku merasa seperti sedang terperangkap dalam sesuatu yang tidak bisa kumengerti dan tidak bisa kujelaskan. Perangkap ini bahkan membuatku melakukan apa yang tidak pernah aku lakukan dan memikirkan apa yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya. Perangkap ini pula yang membuatku berpikir bahwa lama kelamaan, aku akan mulai kehilangan akal sehatku.

Aku butuh bantuan profesional.

Aku tersenyum begitu tiba di depan gerbang kampus. Hanya ini satu-satunya tempat yang bisa membebaskan pikiranku dari Ivan.

Lihat selengkapnya