Love Is Him

SavieL
Chapter #8

.: Rumahku :.

Disinilah aku...

Aku berangkat dengan penerbangan pertama menuju Jakarta. Aku tidak bisa tidur sepanjang malam karena kejadian yang baru saja kualami. Tatapan liar Oscar tidak juga hilang dari ingatanku.

Oscar menghilang. Ia tidak berusaha menghubungiku, atau mencoba datang untuk minta maaf padaku. Apa yang terjadi pada malam itu, membuatku sadar betapa bodohnya aku selama ini, karena telah mempercayainya dengan mudah.

Oscar...

Aku menarik napas berat, berusaha meredakan pedih dalam hatiku. Pria yang sangat baik, perhatian, romantis, istimewa, dan selalu tersenyum hangat padaku—kurang dari 24 jam yang lalu telah menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. Monster yang selama ini bersembunyi dalam senyum ramah dan hangat itu, akhirnya menunjukkan taringnya yang mematikan.

Sepanjang malam, aku berharap, aku tidak pernah datang ke pesta itu. Aku berharap, semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Aku akan terbangun dan bertemu Oscar lagi. Oscar yang selama ini kukenal. Namun hal itu tidak pernah terjadi.

Tanpa kusadari, airmata mengalir di sudut mataku. Kenyataan itu terlalu sulit untuk kuterima. Kenapa harus Oscar?

☆☆☆

Taksi yang kutumpangi berhenti di depan gerbang rumahku. Aku tidak memberitahu keluargaku, kapan aku tiba di Indonesia. Aku juga tidak meminta mereka menjemputku. Aku belum siap menceritakan apa yang baru saja kualami.

Setelah memberi ongkos pada supir taksi, aku bergegas turun. Bawaanku tidak banyak—hanya satu koper berukuran sedang. Aku bisa membawanya dengan mudah.

Dari gerbang, kulihat papa dan mama tengah duduk di teras, sedang berbicara satu sama lain sambil tersenyum. Ketika melihat senyum yang terukir di wajah mereka, ada rasa lega yang menghampiriku, seolah senyuman itu bisa sedikit mengobati luka di hatiku.

Aku berjalan memasuki teras.

“Luna?” Seru Mama dengan nada tidak percaya.

Papa otomatis menoleh ke arah tatapan mama. Begitu melihatku, ia langsung berlari menghampiriku. “Kamu kapan sampai? Kenapa tidak bilang, papa bisa jemput kamu.” Ucap Papa, lalu memelukku.

Ingin rasanya aku menangis dalam pelukan papa. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, merenungkan segalanya. Menangis di depan orang tuaku, sama artinya aku harus menceritakan segalanya kepada mereka, saat itu juga. Aku belum siap. Aku belum bisa menceritakan apa yang terjadi pada siapapun. Tidak sekarang...

“Kamu kenapa?” Mama sudah berada di sampingku. Ia tau ada yang tidak beres. Ia tentu bisa merasakannya—perasaan seorang ibu.

“Aku capek pa, ma. Aku mau istirahat dulu.” Jawabku, memaksakan senyum. Meski tau, senyumku pasti terlihat menyedihkan.

Papa mengambil alih bawaanku, sementara mama hanya menatap papa penuh tanya. Sekali lagi aku tersenyum pada mereka, lalu berjalan masuk. Perasaan orang tuaku pastilah bimbang saat ini, karena sikap diamku. Tidak mengapa, mereka akan mengerti. Bagaimanapun juga, mereka orang tuaku. Mereka pasti mengerti.

Suasana rumah yang tenang, menyambutku begitu aku melangkah masuk. Mengalirkan perasaan hangat ke dalam hatiku. Aku mengenal tempat ini dengan baik. Paling tidak, tidak ada kebohongan yang disembunyikan dariku disini. Aku senang bisa pulang tepat di saat seperti ini. Di saat aku berharap bumi mau menyembunyikanku, menelanku hingga tidak ada yang bisa menemukanku.

Ketika melewati ruang keluarga, aku melihat Rara yang sedang belajar bersama Ivan. Ketika melihatku, Rara langsung berlari dan memelukku, sambil bersorak gembira. Aku tidak tau harus bagaimana. Kegembiraan adikku, tidak mampu menulariku. Aku hanya bisa mematung, menanggapinya.

Aku menatap Ivan—dan untuk kedua kalinya, mataku dan matanya bertemu. Entah mengapa, tatapannya terasa menembus hingga ke dalam hatiku. Tatapan itu membakar hatiku, membuatku sulit bernapas. Matanya seolah mencari sesuatu dalam tatapanku. Rasanya sangat aneh, ketika akhirnya kami bertemu kembali. Di satu sisi, aku ingin sekali berlari dan memeluknya—entah untuk alasan apa. Namun di sisi lain, aku merasa sangat malu, tidak seharusnya aku bertemu dengan pria itu. Aku bukan lagi orang yang sama seperti sebelumnya, tidak seharusnya dia menatapku seperti itu.

Lihat selengkapnya