“Aku tidak bermaksud menggurui om dan tante, tapi kupikir situasi seperti ini tidak akan berdampak baik bagi Rara.” Ivan menjelaskan.
Beberapa saat yang lalu, Ivan meminta kami semua berkumpul di ruang keluarga karena ia ingin meminta papa dan mama—dan aku—meski dalam kalimatnya aku tidak disebut, untuk mengijinkan Rara kembali ke sekolah. Berhubung Rara masih tidak mau kembali ke kelas lamanya, maka Ivan mengusulkan untuk membiarkan Rara bergabung dengan kelas yang ia ajari. Sejak tadi, aku hanya menatap papa dan mama. Tidak ada ekspresi lain yang terlihat selain wajah datar mereka. Aku jadi tidak bisa menebak apa yang mereka pikirkan.
“Aku sudah berulang kali meminta Rara kembali ke kelasnya, namun ia menolak.” Ivan menambahkan. “Aku tidak keberatan mengajar Rara setiap hari, seperti sekarang ini. Tapi jika dia hanya bertemu dengan kita, maka ia akan kehilangan kesempatan menikmati masa kecilnya secara normal.”
“Om mengerti maksud kamu. Tapi,,,” Papa terdiam, sepertinya mencoba mencari kalimat yang tepat.
“Tapi kenapa Om? Om khawatir dengan anak-anak didik aku?” Ivan menebak maksud papa.
“Setiap orang tua akan memiliki pendapat yang sama seperti Om, jika mereka ada di posisi Om.” Papa mencoba membela diri.
“Om benar. Aku pun akan bersikap seperti itu.” Ivan membenarkan. Lalu menarik napasnya dalam-dalam. “Tapi Om belum mengenal anak-anak itu, sebaik aku mengenal mereka. Mereka tidak meminta untuk dilahirkan sebagai anak-anak kriminal. Ketika mereka lahir, mereka tidak pernah berpikir bahwa setelah besar nanti, mereka akan jadi anak-anak yang tidak diterima oleh masyarakat..."
Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa ada kesedihan yang tersirat dalam ucapan pria itu.
“Setiap orang memiliki kebaikan dalam hatinya. Aku percaya, kebaikan adalah sifat yang pasti dimiliki oleh siapapun. Hanya saja, terkadang seseorang lebih memilih untuk menunjukkan sifat buruknya kepada orang lain, untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah orang yang lemah." Ivan menarik napas berat. Ia terlihat sedih. “Anak-anak itu tidak seburuk status yang mereka sandang. Mereka juga punya kebaikan dalam hatinya. Mereka anak-anak yang pintar, berbakat dan pekerja keras. Mereka anak-anak yang ceria namun juga rapuh. Mereka anak-anak normal, seperti anak-anak lainnya. Hanya saja, hidup memperlakukan mereka dengan tidak baik. Karena itulah mereka melawan. Mereka hanya butuh kesempatan untuk membuktikan pada dunia, bahwa mereka layak diperlakukan sama seperti anak-anak lainnya." Ivan tersenyum.
Papa dan mama masih menatapnya dalam diam.
“Om dan Tante tidak perlu khawatir. Aku janji, aku akan menjaga dan melindungi Rara. Tolong beri kesempatan padaku, dan pada murid-muridku, untuk membuktikan bahwa Rara pantas bergabung bersama kami. Jika sesuatu yang buruk terjadi, aku janji Rara akan jadi prioritas utama yang aku lindungi, lebih dari nyawaku sendiri.”
Ivan mengakhiri rayuan-nya pada papa dan mama—dan aku.
Ia sangat pandai dalam urusan bicara dan meyakinkan orang lain. Aku suka mendengarnya menyampaikan semua yang ada dalam pikirannya. Aku suka melihatnya begitu percaya diri dan penuh semangat ketika mengatakan sesuatu. Dan sejauh ini, aku pribadi tidak keberatan bila Rara harus bergabung dengan kelas yang ia ajari. Tapi tentu saja, dia tidak akan repot-repot untuk menanyakan hal itu padaku.
Dasar pria menyebalkan!
☆☆☆
Seperti yang kukatakan sebelumnya, Ivan adalah pria yang sangat pandai dalam urusan kata. Buktinya, papa dan mama menyetujui usul yang ia berikan. Meski, butuh waktu dua hari bagi mereka untuk memikirkan hal itu. Namun pada akhirnya, mereka tetap setuju untuk membiarkan Rara bergabung dengan murid-murid Ivan.
Aku melangkah keluar dari studio rekamanku. Rasa lapar yang menyerang, memaksaku untuk berhenti sejenak dari pekerjaan, dan beristirahat. Aku menuju salah satu restaurant terdekat yang bisa kutemukan. Aku memilih duduk di meja bagian luar—outdoor, karena merasa kalau aku membutuhkan udara segar setelah seharian berada di dalam studio.
Restaurant yang kukunjungi ini cukup menyenangkan. Di sepanjang trotoar mereka menanam beberapa pohon berukuran tanggung, sehingga udara terasa sejuk dan asri. Aku memesan makanan dan sambil menunggu pesananku tiba, aku mengeluarkan notepad untuk berselancar di dunia maya. Melihat-lihat berita yang sedang populer.
Tidak jauh dari sana, kudengar suara dua anak kecil sedang bernyanyi. Suara mereka lumayan bagus, pikirku. Aku mengangkat wajah, untuk mencari tau, siapa pemilik suara itu. Lalu aku melihatnya. Dua pengamen kecil, dengan wajah yang tidak asing. Yang satu anak perempuan, yang satu lagi anak laki-laki. Aku pernah melihat kedua anak itu sebelumnya, sehingga aku yakin betul kalau mereka adalah murid-murid Ivan.
Entah apa yang kupikirkan, namun yang pasti aku melambai pada mereka, memberi isyarat untuk mendekat. Kedua anak itu berjalan ragu-ragu ke arah restaurant—mengikuti panggilanku. Ketika mereka hendak memasuki pembatas restaurant, seorang satpam menghardik mereka.
“Stop! Kalian tidak bisa baca? Pengamen dilarang mengamen disini!” Kata Satpam dengan nada galak, sambil menunjuk ke arah tulisan yang menempel di kaca restaurant.
“Tapi Pak...” Anak perempuan mencoba menjelaskan.
“Sudah, tidak ada tapi-tapi! Sekarang kalian cepat pergi dari sini!” Perintah satpam, dengan nada galak yang semakin meninggi.
“Pak...” Aku menghampiri dan menegurnya.
“Mohon maaf atas gangguan ini, Bu. Saya akan segera mengusir pengamen-pengamen ini.” Kata Satpam dengan nada sebaliknya—ia terdengar lebih ramah terhadapku, lalu ia mulai mendorong anak-anak itu.
“Saya yang memanggil mereka.” Kataku cepat.