Sesuai kesepakatan, hari ini Rara akan bergabung dengan murid-murid Ivan.
Sejak pagi, adikku sudah terlihat gugup. Setelah berbulan-bulan menjalani home schooling bersama Ivan, moment ini pasti sangat menegangkan untuknya. Aku memeluk Rara, memberinya semangat.
Kali ini, aku tidak terlalu khawatir mengenai Rara yang akan bergabung dengan murid-murid Ivan. Apalagi, aku sudah bertemu dengan 2 muridnya, dan jelas mereka adalah anak-anak yang pintar, baik dan sopan.
Mereka masih sangat kecil, namun hidup sudah meminta banyak dari mereka. Ivan benar. Sisi gelap adalah cara yang mereka gunakan untuk melindungi diri dari kerasnya kehidupan. Aku, tidak sanggup membayangkan hari-hari berat seperti apa yang harus mereka lalui.
Mobil yang aku dan Rara tumpangi berhenti di depan gerbang sekolah—hari ini papa tidak bisa mengantar kami. Dan disanalah pria tampan nan menyebalkan itu, tengah menanti kedatangan kami. Lagi-lagi degup jantungku bereaksi secara berlebihan ketika melihatnya.
“Hai cantik,,, sudah siap memulai hari pertama kamu di kelas kakak?” Ivan membungkuk untuk menyapa Rara.
Rara mengangguk, namun di wajahnya tergambar jelas rasa gugup.
“Kamu tidak perlu takut, mereka anak-anak yang baik. Kamu pasti suka berteman dengan mereka.” Katanya pula, merapikan poni Rara. “Lagipula ada kakak, yang akan menjaga kamu.”
“Iya, Rara jangan takut. Nanti kan kakak juga ikut buat jaga Rara.” Aku bicara dengan suara keras, menegaskan keberadaanku.
Ivan terdiam mendengar perkataanku. Sepertinya dia sedang berusaha mencerna maksud dari kalimat itu. “Saya bisa jaga adik kamu, kamu tidak perlu ikut ke kelas saya.” Kata Ivan, tetap memandang Rara.
“Tetap saja aku merasa khawatir. Bagaimanapun juga, Rara itu adik kesayanganku. Aku tidak mau hal buruk terjadi padanya.” Kataku bersikeras.
“Kelas saya hanya diisi oleh anak-anak yang di cap sebagai kriminal. Bukan berarti mereka benar-benar jahat seperti anggapan orang.” Ivan terdengar marah.
Aku tidak akan menyerah dengan mudah. “Terserah apa kata kamu. Aku tetap khawatir. Aku tetap akan ikut!”
Ivan memejamkan matanya—menahan amarah. “Saya tidak menyangka pikiran kamu sedangkal itu, terhadap anak-anak yang kurang beruntung dalam kehidupan.” Ivan bangkit berdiri.
“Kamu boleh menyebutku dengan sebutan apa saja, berpikir tentangku dengan cara yang kamu mau. Pokoknya aku tetap akan ikut!” Kataku, semakin keras kepala—mengabaikan kemarahan dalam suaranya.
Ya. Pria itu pasti sangat marah padaku. Namun hanya itu satu-satunya alasan yang kupunya, agar aku bisa dekat dengannya. Aku ingin berada dalam kelasnya. Aku ingin melihat caranya mengajari anak-anak didiknya. Aku ingin memandanginya selama yang aku bisa. Dan untuk itu, aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan. Kali ini aku tidak akan menyerah semudah itu. Tidak, setelah semua yang kurasakan padanya semakin jelas.
Ivan sepertinya sadar bahwa tidak ada gunanya berdebat denganku, karena dia langsung menggenggam tangan Rara, dan berjalan menuju kelasnya.
Aku mengikuti dari belakang, tersenyum penuh kemenangan.
☆☆☆
“Hari ini,,, kita kedatangan murid baru, namanya Rara. Kakak harap, kalian bisa berteman baik dengan Rara.” Ivan memperkenalkan Rara di tengah kelas.
Murid-murid bertepuk tangan, menyambut kedatangan Rara.
Total murid di kelas ini 19 orang. Sama seperti yang diceritakan pak Firman. Ivan berhasil menjaga dan mendidik mereka hingga saat ini. Dia sangat luar biasa.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, lalu mataku bertemu dengan Siti lalu Rama. Kedua anak itu hendak melambai padaku. Buru-buru, aku membuang muka. Akan berakibat buruk bagiku, jika Ivan sampai tau kalau aku telah mengenal 2 muridnya. Dia mungkin akan berpikir bahwa aku sengaja memata-matainya. Dia tidak akan percaya jika kuberitahu bahwa aku tidak sengaja bertemu dengan mereka di depan restaurant.
Bukankah dia sangat menyebalkan? Dia selalu menilai orang—dalam hal ini aku, dengan sesuka hatinya.
“Yang berdiri disana, namanya kak Luna.” Ivan memperkenalkanku?
Rasanya mengejutkan. Aku tidak menyangka kalau dia bersedia memperkenalkanku pada murid-muridnya.