Langkahku terasa ringan ketika berjalan memasuki mall. Dengan dia di sampingku, rasanya dunia saat ini, hanya milik kami berdua. Meski ia ikut karena terpaksa—atau bisa dibilang dia ikut karena dijebak olehku, namun hal itu tidak mengurangi kebahagiaanku.
“Jangan lama-lama.” Ocehnya dibelakangku.
Aku berbalik untuk menatapnya. Ivan langsung membuang muka.
“Tergantung kamu.” Kataku.
“Kenapa begitu?” Tanyanya.
“Iya, tergantung kamu. Aku ajak kamu ke sini, karena aku mau kamu bantu aku memilih baju yang cocok, untuk dipakai murid-murid besok.” Aku menjelaskan ideku.
Ivan terdiam. “Kenapa kamu mau membelikan baju untuk mereka?” Tanyanya.
“Kenapa kamu mau mengajak mereka makan siang?” Aku balik bertanya.
“Itu bukan jawaban.” Ia mendengus.
Aku tersenyum. "Tapi itulah jawabanku."
Kami mengitari beberapa toko, mencari pakaian yang cocok untuk anak-anak itu. Ivan lebih mengenal mereka dibanding aku, jadi mengajaknya merupakan keputusan yang tepat.
Lagipula pergi berdua seperti ini, membuatku merasa seperti sedang berkencan dengannya. Ini mungkin tidak bisa dibilang kencan, apalagi dia ikut karena terpaksa. Tapi tetap saja, rasanya menyenangkan. Berada dengannya di ruang publik, jauh dari konsep sekolah, jauh dari murid-muridnya dan Rara, hanya aku dan dia... Sungguh sangat membahagiakan, hingga sulit untuk dilukiskan.
“Aku lapar.” Kataku.
“Bukan urusan saya.” Jawabnya, ketus.
Aku memutar kedua mataku, lalu berbelok masuk ke restaurant yang menghidangkan aneka masakan Padang. Dia mengikuti. Aku menghampiri sebuah meja, dan Ivan duduk dihadapanku. Ia terus memandang ke berbagai arah, menghindari tatapanku.
Seorang waitress menghampiri kami—ia terkejut begitu melihatku. Ia lalu menoleh bergantian ke arahku dan Ivan, sebelum menanyakan makanan apa yang ingin kami pesan. Setelah mencatat pesanan kami, waitress itu buru-buru pergi. Mungkin dia sudah tidak sabar ingin menyampaikan apa yang baru saja dilihatnya pada teman-temannya. Seperti itulah kehidupan yang harus dijalani bila kita dikenal banyak orang. Tidak ada lagi yang namanya privasi.
Tapi setelah kupikir-pikir, sebagian diriku berharap ada paparazzi yang kebetulan berpapasan dengan kami dan menanyakan siapa pria yang duduk denganku ini. Mungkin aku akan bilang kalau dia, pacarku. Ivan pasti marah dengan jawaban itu. Namun apa peduliku? Toh dia memang selalu marah pada apapun yang kulakukan. Jadi, aku hanya perlu berpura-pura tidak memahami maksud amarahnya. Ah,,, aku pasti sudah gila. Aku harus menghentikan pikiran aneh itu.
Aku memecah keheningan. “Kenapa kamu selalu menghindari tatapanku?” Tanyaku.
“Bukan urusan kamu.” Jawabnya.
“Tentu saja ini urusanku. Aku objeknya. Kamu selalu menatap orang lain, tapi tidak pernah mau menatapku.” Protesku.
“Jangan cerewet.” Katanya datar.
Aku menarik napas dalam-dalam—mengalah. “Kamu mau mengajak mereka makan dimana?” Aku mengganti topik, berusaha mencairkan kekakuannya.
“Bukan urusan kamu.” Jawabnya, sama datarnya.
Ya ampun! Ada apa dengan pria ini? Aku meredam kekesalan yang perlahan muncul. “Paling tidak, kamu bisa jawab pertanyaan itu. Itu hanya sebuah pertanyaan sederhana.”
Ia memejamkan mata sesaat lalu menghembuskan napas berat. “Saya akan mengajak mereka ke restaurant all you can eat. Saya ingin mereka merasakan pengalaman makan sepuasnya, sebanyak yang mampu mereka makan.” Ia menjawabku.
Apakah sesulit itu bicara denganku?
“Mereka pasti senang.” Ucapku, lebih pada diriku sendiri.
Ivan hanya diam.
Aku menatapnya—tersadar betapa menariknya dia. Jika semua guru terlihat seperti dirinya, maka sekolah pasti didominasi oleh para gadis.
“Kamu tau? Kata orang tua, tidak sopan melihat ke arah lain, ketika sedang bicara dengan seseorang.” Aku ingin sekali dia menatapku.
Rahangnya mengeras. “Kalau kamu tidak suka, saya bisa pergi dari sini.” Dia mendorong bangkunya, menjauhi meja.
Seketika aku diliputi kepanikan. Aku harus melakukan sesuatu untuk menahannya. “Pergi saja. Tapi, kalau sampai terjadi sesuatu padaku, papa tidak akan melepaskan kamu. Memangnya kamu tidak sadar, kalau sejak tadi orang-orang terus melihat ke arahku? Ditambah lagi hari ini tidak ada pengawalku yang ikut.” Aku pasti terdengar norak dan kekanak-kanakan, karena memanfaatkan statusku untuk mengancamnya. Namun aku tidak punya cara lain. Aku tidak tau harus bagaimana untuk menahannya agar tidak pergi.
Ancamanku berhasil. Ivan menarik kembali bangkunya, dan duduk dengan wajah tidak senang. Aku tersenyum. Sebenarnya menyenangkan bisa menggodanya seperti itu. Paling tidak, aku bisa melihat ekspresi yang berbeda, selain wajah datar andalannya.
Aku terus menatapnya. Mata dan rambut hitamnya terlihat menggoda. Semakin aku menatapnya, dia semakin memesona. Belum pernah aku merasakan perasaan seperti ini. Sebuah perasaan yang membuatku seperti kehilangan akal sehat.
Makanan kami datang tidak lama kemudian. Ivan langsung menyantap makanannya. Kami makan dalam diam. Aku tersenyum. Dalam keheningan, hatiku mencoba mengenal hatinya...
☆☆☆
Ivan membawa beberapa tas belanja. Ia terlihat seperti seorang cowok yang sedang menemani pacarnya berbelanja. Lagi-lagi aku tersenyum. Aku sudah menawarkan diri untuk membantunya, namun ia menolak—menurutnya, ia mampu membawa semua tas itu sendiri. Ia tidak mau menerima bantuanku sama sekali. Pria itu sangat aneh dan keras kepala.